Titip Rindu
Sore itu Babonya bocils tampak antusias dari biasanya. Ya, kalau saya ada dalam posisinya tentu saya akan tampak sama antusiasnya. Setelah tepat dua tahun meninggalkan Sarajevo, akhirnya siang itu dalam beberapa jam kedepan dia akan kembali melepas rindu pada tanah kelahirannya.
Tentu banyak hal yang dia rindukan dari Bosnia. Bahkan saya yang hanya sempat dua setengah tahun hidup di sana juga menyimpan benih-benih rindu yang jika terus dipupuk tentu akan tumbuh subur (oleh sebab itu saya tidak mau memupuknya, sebab kalau sudah subur jadi susah sendiri setelahnya :p). Jadi saya bisa membayangkan kerinduan macam apa yang kini dia rasakan. Dari kelezatan burek, udara segar khas perbukitan, bersepeda dan rafting bersama teman sejawat, mempunyai banyak lawan bicara menggunakan bahasa ibu, suasana ramai di Baščaršija kala summer, hingga bayangan euforia piala dunia membuatnya semakin bergairah untuk segera tiba di sana.
Tapi saya tahu pasti, semua itu tentu tak sebanding dengan kerinduannya pada seorang wanita yang paling berjasa dan mungkin yang juga paling mecintainya di muka bumi ini. Ibunya.
Seperti umumnya laki-laki dewasa, setidaknya yang saya saksikan, Adnan tak pernah mewek karena merindukan ibundanya. Namun sebagai orang yang mengaku soulmatenya ini (ciiieee..), saya bisa menangkap betapa Adnan merindukan sang ibu. Walau tiap pekan selalu rutin berkomunikasi, tentu pertemuan langsung tak dapat tergantikan oleh sebuah media semacam skype.
Kala rindu tengah melanda, Adnan biasanya akan menceritakan sosok wanita 60 tahun tersebut. Walau sudah berpuluh kali saya mendengar kisah perjuangan ibunya masa perang, namun selalu ada haru menyusup di dada ini. Saat itu usia adnan tidak lebih dari 8 tahun, dan Adnan kecil jauh berbeda dengan Adnan dewasa yang sehat. Saat kecil dia mengidap beberap penyakit yang harus ditangani dengan serius. Keharusan untuk kontrol secara berkala dan berkelanjutan tentu membutuhkan komitmen yang besar, terlebih saat itu Sarajevo dalam kondisi perang.
"Saya masih ingat, Ibu menggandeng saya menyusuri jalan pintas nan gelap berkilo-kilo meter menuju Rumah Sakit saat malam. Kenapa malam? Karena siang hari para sniper siap memburu warga sipil tanpa pandang bulu".
Mungkin karena interaksi Adnan dan ibunya yang lebih intens telah membangun kedekatan emosi lebih dalam dibanding kedua saudarinya.Yap, menurut saya, kedua saudarinya cenderung jauh dan tak akrab dengan ibu mereka. Saya tidak pernah melihat mereka memeluk hangat ibu mertua seperti yang dilakukan Adnan ataupun sepupu-sepupnya dengan ibunda mereka. Mengingat budaya mereka yang ekspresif dan 'royal' dalam mengumbar kata dan sikap sayang, maka sikap kedua saudari ipar saya tersebut cukup aneh bagi saya.
Saat pertama kali saya melihat interaksi antara suami ataupun sepupunya dengan ibunda mereka, saya cukup takjub. Mereka memeluk mencium dan merangkul ibu mereka seperti kanak-kanak. namun bukan tingkah manja kekanakan yang tersirat dari sikap mereka, melainkan sikap yang sarat cinta kasih.
Melihat hal itu saya jadi bercermin pada diri sendiri. Bagaimana interaksi saya dengan ibu saya selama ini? Saya merasa dekat dengan Mama, tapi saya dibesarkan dengan sikap konvensional ala timur. Mama, jarang mengkespresikan cinta dan kasih sayang dengan ciuman dan pelukan saat anak-anaknya beranjak dewasa. Saya tahu betapa besar kasih sayang beliau pada kami, dan begitu pula yang saya rasakan kepada beliau. Jadi walau saya (dan kakak-kakak saya) bisa ngobrol atau curhat selama berjam-jam bersama Mama, tapi saya tak pernah melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Adnan dan sepupu-sepupunya tersebut. Karena memang seperti ini lah Mama membesarkan kami, dan saya merasa tidak ada yang salah dengan hal ini, karena ini lah budaya kami.
Tapi untuk kasus interaksi ipar-ipar saya tentu menjadi sedikit aneh, karena ibu mertua besama suami saya bisa dekat dan mereka hidup dalam budaya ekspresif. Tapi saudari-saudari ipar saya jangankan mengecup atau merangkul ibu mereka hangat di sela-sela waktu luang, bahkan momen minum kopi ajang yang paling cocok untuk curhat-curhatan, menjadi begitu hambar dengan sikap induvidual mereka. Tidak seperti saya dan kakak-kakak saya dulu yang sering curhat ttg apapun pada Mama, adik ipar saya kala duduk bersama ibunya hanya sibuk dengan pikirannya. Percakapan paling wajar antara ibu-anak itu yang pernah saya saksikan adalah ketika adik ipar saya tanya pendapat beliau tentang penampilannya saat ingin berangkat JJS.
Saya mencoba mencari alasan akan keanehan tersebut, namun setelah dua tahun lebih berinteraksi dengan ibu mertua, saya jadi bisa mengenal karakter beliau dan coba-coba mengaitkan dengan hal tersebut. Ibu mertua terlahir sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Menjadi anak perempuan tertua diantara saudara-saudaranya, membuat beliau dewasa lebih cepat karena dibebani banyak tanggung jawab rumah tangga di usia yang sangat muda. Salah satu tugas beliau yang sering diceritakan, di usia 10 tahun beliau bertanggung jawab membuat masakan untuk keluarganya. Selepas masa kanak-kanak, beliau tak putus menjadi sosok pekerja keras. Saat menikah, bukan berarti semua menjadi mudah, justru sebaliknya. Generasi kakek nenek Adnan yang masih memegang teguh tradisi, menjadikan menantu perempuan layaknya 'anak magang'.
Belum lagi setelah beliau memutuskan hijrah ke ibu kota, bersama ayah mertua, beliau memulai segalanya dari awal. Mereka membangun mimpi bersama di kota nan asing, yang bebarapa tahun kemudian dihadapkan dengan situasi perang yang berkecamuk. Bukan hanya hilangnya rasa aman, perang juga merengut impian mereka akan masa depan. Bapak mertua yang menjadi tulang punggung selama ini, harus menerima kenyataan bahwa beliau telah lumpuh karena kakinya tertembak. Disebabkan kondisi kesehetan bapak mertua dan juga Adnan, selama beberap tahun kemudian mereka hijrah ke beberapa negara. Berpindah ke beberapa negara berbeda dalam kurun waktu tiga tahun, bukanlah perkara mudah bagi ibu mertua. Ya, tentu tidak mudah boyongan bersama 3 anak di bawah umur sekaligus merawat sang kepala keluarga yang telah hilang minat hidup.
Bicara soal perang, kita tidak hanya bicara masalah material yang hilang atau pun hancur. Bukan masalah berapa juta jiwa yang tewas dan yang hidup. Bukan sebatas berapa parah kerusakan aset negara dan korban-korban luka. Tapi lebih dari itu, bicara perang adalah bicara tentang trauma yang menghantui para korban dan keluarga korban perang. Bicara perang adalah bicara tentang menjalani hidup setelah keterpurukan. Bicara perang tidak sesederhana data dan gambar yang diberitakan di media.
Maka akhirnya saya bisa memahami jika ibu mertua menjadi sosok yang sigap dan pekerja keras. Mungkin karena hidupnya yang penuh tekanan, menjadikannya tak terbiasa untuk mengekspresikan rasa cinta (bukan berarti tidak memiliki rasa cinta itu). Saya tidak percaya dengan karma, tapi saya meyakini apapun yang kita tanam, pasti buahnya akan kita dapatkan. Baik tidaknya yang kita lakukan, hasilnya pasti akan kembali kepada diri ini. Apapun itu, termasuk pola asuh.
Nah, seperti saya bilang tadi, kalau interaksi Adnan dengan ibunya berbeda dengan kedua saudarinya. Bisa jadi karena interaksi mereka lebih berkualitas. Uniknya kedekatan emosi yang terjalin justru karena penyakit yang diidap Adnan. Jika Adnan kecil sehat seperti kedua saudarinya, apakah sikap Adnan akan sama seperti kedua saudarinya?
Maka untuk hal ini, ayat cinta-Nya yang satu ini cukup mewakili
Setelah Adnan sehat pulih seakan dia tak pernah memiliki penyakit serius di masa lampau;
Setelah saya melihat perbedaan sikap antar suami saya dengan kedua saudarinya terhadap ibu mereka;
Setelah saya memiliki anak dan merasakan perbedaan perlakuan pada diri ini ketika mereka sakit.
Karena itu saya tidak berhak menghakimi siapapun dalam hal ini akan sikap mereka. Yang saya bisa lakukan hanyalah mengumpulkan kepingan hikmah yang terserak. Dan terus mencoba untuk menghargai dan mencintai wanita tangguh yang telah melahirkan serta membesarkan suami saya dengan darah dan keringatnya. Wanita sederhana yang tak berkesempatan mengeyam pendidikan formal ke jenjang yang tinggi, namun pengalaman dan keterampilan beliau menunjukkan ketinggian ilmunya.
Dan setelah berpuluh bulan dirundung kerinduan pada dirinya, akhirnya suami bertekad memberi kejutan kepada sang Ibu.
"Saya tidak kasih tau kalau saya akan datang. Yang beliau tau, rencana saya pulkam tahun ini ditunda"
Bisa dibayangkan, kebahagaian macam apa yang akan dirasakan beliau. Sosok yang beberapa bulan terakhir ini kehadirannya hanya muncul dalam halusinasi akan menjelma menjadi nyata. Karena rindunya, seringkali beliau mendengar langkah kaki Adnan di koridor rumahnya. Walau sepertinya, kejutan ini belum akan sempurna karena Adnan belum bisa membawa Ismail serta, tapi tetap akan diwujudkan.
Benar saja, saat hari yang dinanti itu tiba. Ibu mertua seakan menerima serangan jantung saat melihat putra tunggalnya yang hidup ribuan mil tiba-tiba muncul di tengah halamannya. Seakan ini hanyalah bagian dari mimpi sedihnya, beberapa saat hanya tangisan yang bisa beliau ekspresikan. Dan tetap pada akhirnya beliau menyalahkan putranya karena datang seorang diri :p
Ya, ibu, saat ini kami di jakarta hanya bisa menitip rindu kami lewat kehadiran putramu. Doakan cucu-cucumu di jakarta tumbuh sehat dan kuat, sehingga beberapa tahun kedepan jika pertemuan itu terjadi kita semua benar-benar menikmatinya. Ah, atau kami yang mendoakan ibu dan bapak selalu dalam keadaan sehat dan kuat, sehingga bisa mengunjungi kami di sini. Tak lupa doa kami, agar kelak kita bisa bersama berkumpul di kampung akhirat. Kampung yang di dalamnya tak ada bekas luka dan kesedihan masa lalu, yang ada hanya suka cita yang tak berujung, insyaAllah.
Tentu banyak hal yang dia rindukan dari Bosnia. Bahkan saya yang hanya sempat dua setengah tahun hidup di sana juga menyimpan benih-benih rindu yang jika terus dipupuk tentu akan tumbuh subur (oleh sebab itu saya tidak mau memupuknya, sebab kalau sudah subur jadi susah sendiri setelahnya :p). Jadi saya bisa membayangkan kerinduan macam apa yang kini dia rasakan. Dari kelezatan burek, udara segar khas perbukitan, bersepeda dan rafting bersama teman sejawat, mempunyai banyak lawan bicara menggunakan bahasa ibu, suasana ramai di Baščaršija kala summer, hingga bayangan euforia piala dunia membuatnya semakin bergairah untuk segera tiba di sana.
Tapi saya tahu pasti, semua itu tentu tak sebanding dengan kerinduannya pada seorang wanita yang paling berjasa dan mungkin yang juga paling mecintainya di muka bumi ini. Ibunya.
Seperti umumnya laki-laki dewasa, setidaknya yang saya saksikan, Adnan tak pernah mewek karena merindukan ibundanya. Namun sebagai orang yang mengaku soulmatenya ini (ciiieee..), saya bisa menangkap betapa Adnan merindukan sang ibu. Walau tiap pekan selalu rutin berkomunikasi, tentu pertemuan langsung tak dapat tergantikan oleh sebuah media semacam skype.
Kala rindu tengah melanda, Adnan biasanya akan menceritakan sosok wanita 60 tahun tersebut. Walau sudah berpuluh kali saya mendengar kisah perjuangan ibunya masa perang, namun selalu ada haru menyusup di dada ini. Saat itu usia adnan tidak lebih dari 8 tahun, dan Adnan kecil jauh berbeda dengan Adnan dewasa yang sehat. Saat kecil dia mengidap beberap penyakit yang harus ditangani dengan serius. Keharusan untuk kontrol secara berkala dan berkelanjutan tentu membutuhkan komitmen yang besar, terlebih saat itu Sarajevo dalam kondisi perang.
"Saya masih ingat, Ibu menggandeng saya menyusuri jalan pintas nan gelap berkilo-kilo meter menuju Rumah Sakit saat malam. Kenapa malam? Karena siang hari para sniper siap memburu warga sipil tanpa pandang bulu".
Mungkin karena interaksi Adnan dan ibunya yang lebih intens telah membangun kedekatan emosi lebih dalam dibanding kedua saudarinya.Yap, menurut saya, kedua saudarinya cenderung jauh dan tak akrab dengan ibu mereka. Saya tidak pernah melihat mereka memeluk hangat ibu mertua seperti yang dilakukan Adnan ataupun sepupu-sepupnya dengan ibunda mereka. Mengingat budaya mereka yang ekspresif dan 'royal' dalam mengumbar kata dan sikap sayang, maka sikap kedua saudari ipar saya tersebut cukup aneh bagi saya.
Saat pertama kali saya melihat interaksi antara suami ataupun sepupunya dengan ibunda mereka, saya cukup takjub. Mereka memeluk mencium dan merangkul ibu mereka seperti kanak-kanak. namun bukan tingkah manja kekanakan yang tersirat dari sikap mereka, melainkan sikap yang sarat cinta kasih.
Melihat hal itu saya jadi bercermin pada diri sendiri. Bagaimana interaksi saya dengan ibu saya selama ini? Saya merasa dekat dengan Mama, tapi saya dibesarkan dengan sikap konvensional ala timur. Mama, jarang mengkespresikan cinta dan kasih sayang dengan ciuman dan pelukan saat anak-anaknya beranjak dewasa. Saya tahu betapa besar kasih sayang beliau pada kami, dan begitu pula yang saya rasakan kepada beliau. Jadi walau saya (dan kakak-kakak saya) bisa ngobrol atau curhat selama berjam-jam bersama Mama, tapi saya tak pernah melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Adnan dan sepupu-sepupunya tersebut. Karena memang seperti ini lah Mama membesarkan kami, dan saya merasa tidak ada yang salah dengan hal ini, karena ini lah budaya kami.
Tapi untuk kasus interaksi ipar-ipar saya tentu menjadi sedikit aneh, karena ibu mertua besama suami saya bisa dekat dan mereka hidup dalam budaya ekspresif. Tapi saudari-saudari ipar saya jangankan mengecup atau merangkul ibu mereka hangat di sela-sela waktu luang, bahkan momen minum kopi ajang yang paling cocok untuk curhat-curhatan, menjadi begitu hambar dengan sikap induvidual mereka. Tidak seperti saya dan kakak-kakak saya dulu yang sering curhat ttg apapun pada Mama, adik ipar saya kala duduk bersama ibunya hanya sibuk dengan pikirannya. Percakapan paling wajar antara ibu-anak itu yang pernah saya saksikan adalah ketika adik ipar saya tanya pendapat beliau tentang penampilannya saat ingin berangkat JJS.
Saya mencoba mencari alasan akan keanehan tersebut, namun setelah dua tahun lebih berinteraksi dengan ibu mertua, saya jadi bisa mengenal karakter beliau dan coba-coba mengaitkan dengan hal tersebut. Ibu mertua terlahir sebagai anak kedua dari enam bersaudara. Menjadi anak perempuan tertua diantara saudara-saudaranya, membuat beliau dewasa lebih cepat karena dibebani banyak tanggung jawab rumah tangga di usia yang sangat muda. Salah satu tugas beliau yang sering diceritakan, di usia 10 tahun beliau bertanggung jawab membuat masakan untuk keluarganya. Selepas masa kanak-kanak, beliau tak putus menjadi sosok pekerja keras. Saat menikah, bukan berarti semua menjadi mudah, justru sebaliknya. Generasi kakek nenek Adnan yang masih memegang teguh tradisi, menjadikan menantu perempuan layaknya 'anak magang'.
Belum lagi setelah beliau memutuskan hijrah ke ibu kota, bersama ayah mertua, beliau memulai segalanya dari awal. Mereka membangun mimpi bersama di kota nan asing, yang bebarapa tahun kemudian dihadapkan dengan situasi perang yang berkecamuk. Bukan hanya hilangnya rasa aman, perang juga merengut impian mereka akan masa depan. Bapak mertua yang menjadi tulang punggung selama ini, harus menerima kenyataan bahwa beliau telah lumpuh karena kakinya tertembak. Disebabkan kondisi kesehetan bapak mertua dan juga Adnan, selama beberap tahun kemudian mereka hijrah ke beberapa negara. Berpindah ke beberapa negara berbeda dalam kurun waktu tiga tahun, bukanlah perkara mudah bagi ibu mertua. Ya, tentu tidak mudah boyongan bersama 3 anak di bawah umur sekaligus merawat sang kepala keluarga yang telah hilang minat hidup.
Bicara soal perang, kita tidak hanya bicara masalah material yang hilang atau pun hancur. Bukan masalah berapa juta jiwa yang tewas dan yang hidup. Bukan sebatas berapa parah kerusakan aset negara dan korban-korban luka. Tapi lebih dari itu, bicara perang adalah bicara tentang trauma yang menghantui para korban dan keluarga korban perang. Bicara perang adalah bicara tentang menjalani hidup setelah keterpurukan. Bicara perang tidak sesederhana data dan gambar yang diberitakan di media.
Maka akhirnya saya bisa memahami jika ibu mertua menjadi sosok yang sigap dan pekerja keras. Mungkin karena hidupnya yang penuh tekanan, menjadikannya tak terbiasa untuk mengekspresikan rasa cinta (bukan berarti tidak memiliki rasa cinta itu). Saya tidak percaya dengan karma, tapi saya meyakini apapun yang kita tanam, pasti buahnya akan kita dapatkan. Baik tidaknya yang kita lakukan, hasilnya pasti akan kembali kepada diri ini. Apapun itu, termasuk pola asuh.
Nah, seperti saya bilang tadi, kalau interaksi Adnan dengan ibunya berbeda dengan kedua saudarinya. Bisa jadi karena interaksi mereka lebih berkualitas. Uniknya kedekatan emosi yang terjalin justru karena penyakit yang diidap Adnan. Jika Adnan kecil sehat seperti kedua saudarinya, apakah sikap Adnan akan sama seperti kedua saudarinya?
Maka untuk hal ini, ayat cinta-Nya yang satu ini cukup mewakili
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui” (QS Al Baqarah : 216)Saya rasa tak ada satu orang tua pun yang berharap memiliki anak yang kesehetannya terganggu. Tak ada yang pernah memperhitungkan bahwa memiliki buah hati yang harus rutin bolak balik ke RS adalah sebuah nikmat. Dan saya bisa bercerita dan mengambil hikmah seperti ini karena saya hadir setelah semua rentetan peristiwa tersebut telah terlewati;
Setelah Adnan sehat pulih seakan dia tak pernah memiliki penyakit serius di masa lampau;
Setelah saya melihat perbedaan sikap antar suami saya dengan kedua saudarinya terhadap ibu mereka;
Setelah saya memiliki anak dan merasakan perbedaan perlakuan pada diri ini ketika mereka sakit.
Karena itu saya tidak berhak menghakimi siapapun dalam hal ini akan sikap mereka. Yang saya bisa lakukan hanyalah mengumpulkan kepingan hikmah yang terserak. Dan terus mencoba untuk menghargai dan mencintai wanita tangguh yang telah melahirkan serta membesarkan suami saya dengan darah dan keringatnya. Wanita sederhana yang tak berkesempatan mengeyam pendidikan formal ke jenjang yang tinggi, namun pengalaman dan keterampilan beliau menunjukkan ketinggian ilmunya.
Dan setelah berpuluh bulan dirundung kerinduan pada dirinya, akhirnya suami bertekad memberi kejutan kepada sang Ibu.
"Saya tidak kasih tau kalau saya akan datang. Yang beliau tau, rencana saya pulkam tahun ini ditunda"
Bisa dibayangkan, kebahagaian macam apa yang akan dirasakan beliau. Sosok yang beberapa bulan terakhir ini kehadirannya hanya muncul dalam halusinasi akan menjelma menjadi nyata. Karena rindunya, seringkali beliau mendengar langkah kaki Adnan di koridor rumahnya. Walau sepertinya, kejutan ini belum akan sempurna karena Adnan belum bisa membawa Ismail serta, tapi tetap akan diwujudkan.
Benar saja, saat hari yang dinanti itu tiba. Ibu mertua seakan menerima serangan jantung saat melihat putra tunggalnya yang hidup ribuan mil tiba-tiba muncul di tengah halamannya. Seakan ini hanyalah bagian dari mimpi sedihnya, beberapa saat hanya tangisan yang bisa beliau ekspresikan. Dan tetap pada akhirnya beliau menyalahkan putranya karena datang seorang diri :p
Ya, ibu, saat ini kami di jakarta hanya bisa menitip rindu kami lewat kehadiran putramu. Doakan cucu-cucumu di jakarta tumbuh sehat dan kuat, sehingga beberapa tahun kedepan jika pertemuan itu terjadi kita semua benar-benar menikmatinya. Ah, atau kami yang mendoakan ibu dan bapak selalu dalam keadaan sehat dan kuat, sehingga bisa mengunjungi kami di sini. Tak lupa doa kami, agar kelak kita bisa bersama berkumpul di kampung akhirat. Kampung yang di dalamnya tak ada bekas luka dan kesedihan masa lalu, yang ada hanya suka cita yang tak berujung, insyaAllah.
Nana dan Ismail
Komentar
Posting Komentar