Cerita di Akhir Oktober
Hampir empat bulan terakhir, blog ini ditelantarkan oleh pemiliknya. Padahal, mah, hal yang ingin dituangkan banyak amir. Antara awal juli (postingan terakhir) hingga oktober 2014 ini memang banyak momen 'spesial' yang telah terjadi. Baik skala nasional, internasional, maupun domestik rumah tangga. Dari pilpres yang penuh dengan drama, gaza yang memanas dan berdarah, RUU pemilihan langsung, pesta rakyat pelantikan presiden RI ke-7, DPR tandingan, hingga momen kepindahan kami ke pinggiran ibu kota ini. Tapi berhubung tema-tema tersebut sudah terbilang basi maka lebih baik saya mup-on :-P
Dan mup-on nya saya kali ini ingin membahas tentang kabar duka yang datang bulan ini. Siang hari tanggal 20 Oktober lalu, seorang teman menghubungi saya. Dengan suara bergetar beliau menyampaikan berita duka atas berpulangnya salah seorang alumni rohis SMA, mbak Musyaropah, di usianya yang ke-36. Inalillahi wa inailaihi rajiun.
Mendengar berita tersebut perasaan langsung campur aduk. Sedih, tentu saja rasa itu yang dominan. Namun saya pribadi tidak terlalu terkejut mendapat berita tersebut, mengingat sudah beberapa pekan beliau dirawat inap di RS Darmais. Kanker darah stadium 1 nya sudah menyebar dan menggerogoti tubuhnya lebih dari 70%.
Dulu sekali, jika mendengar berita semacam ini, lantas saya akan mengasihani almarhumah/almarhum. Kasihan karena mereka telah meninggalkan orang-orang yang mereka cintai. Kasihan, karena mereka tidak bisa melanjutkan kehidupan di dunia lagi. Kasihan karena mereka berhadapan dengan sakitnya sakratul maut
Tapi seiring berjalannya waktu saya sadar, yang patut dikasihani dalam hal ini justru orang-orang yang ditinggalkan. Karena semua kenangan hanya bisa dikenang bagi mereka yang hidup.
Memang kerugian macam apa yg didapat bagi orang yang lebih dahulu meninggalkan dimensi kehidupan yang kotor dan bergetah ini? Bukankah dunia bagi kita yang bernyawa ini isinya hanya rentetan ujian? Baik itu ujian dalam kesabaran maupun kesyukuran. Ya, ini bukan surga yang di dalamnya hanya melulu kebahagiaan kan.
Masalah apakah mereka yg berpulang sudah ada kecukupan amal atau belum, itu hal lain. Sebab tak ada jaminan saat kita bisa hidup 100th lebih lama dari yang ditetapkan, maka amal baik kita akan semakin banyak. Bisa jadi justru sebaliknya.
Mengasihani sesorang yang lebih dahulu meninggalkan dimensi ini, seakan membohongi diri, bahwa kita akan kekal di dunia yang tak sempurna ini.
Spesial kasus beliau, saya mengasihani tiga buah hatinya, terutama putri bungsu beliau yang belum genap usia 3 tahun. Batita cantik tersebut baru saja disapih ketika sang ibu mulai dirawat beberapa bulan lalu, dan saat itu beliau belum divonis leukemia.
Saya membayangkan bagaimana kehidupan bocah kecil tersebut setelah kehilangan sosok tumpuannya. Beruntung mbak Musyaropah memiliki keluarga besar dan suami yang baik. Saya yakin anak-anak beliau tidak akan terlantar setelah kepergiannya, insyaAllah.
Tapi tentu tiap ibu yang mendengar berita ini pasti akan langsung teringat akan anak sendiri, setidaknya itu yang terjadi pada saya. Terlepas dari keyakinan bahwa Allah selalu memiliki rencana indah dibalik tiap ketetapannya, saya tetap tidak bisa membayangkan anak-anak saya yang masih di bawah umur harus berpisah selama-lamanya dengan saya.
Sama besarnya saya mempercayai bahwa anak-anak mbak Musyaropah akan dijaga dengan sanak saudaranya, saya juga percaya hal yang sama akan dialami oleh anak-anak saya jika hal semacam ini menimpa pada saya. Namun saya meyakini bimbingan dan asuhan ibu (yang sehat secara fisik dan mental) adalah yang terbaik bagi anak-anak mereka, dibanding asuhan siapapun.
Karenanya sejak dulu saya paling gak kuasa kalau sedang membahas soal anak yatim piatu. Kadang mata saya sudah basah hanya karena membaca plang petunjuk arah yang betuliskan "yayasan yatim piatu" atau "panti asuhan", di pinggir jalan. Reaksi yang lebay, memang, tapi begitu lah yang selalu terjadi. Saya merasa hancur dan gak berdaya membayangkan kehidupan para penghuni yayasan tersebut.
Cukup bagi saya mengetahui anak-anak di bawah umur yang kebutuhannya akan perhatian sgt tinggi tersebut, tak bisa berjumpa SELAMANYA dengan orang tua mereka, sudah sukses membuat hati berasa diiris-iris plus diolesi cuka, pediiiih cuy. Ditambah ketika menyadari bahwa kemampuan tangan ini tak seberapa untuk merangkul anak-anak yg pada diri mereka ada kewajiban saya untuk menyantuni.
Seharusnya saya belum bisa tidur nyenyak ketika tahu ismail dan belkisa yang darah daging saya sendiri sudah terpenuhi kebutuhan jasmani dan rohaninya, sementara ada anak-anak saya yang lain (yang Allah beri tanggung jawab atas mereka kepada saya) masih belum tercukupi kebutuhannya. Ya, saya merasa kerdil :(
Selain merasa kerdil karena keterbatasan kemampuan merengkuh sebanyak-banyaknya anak-anak, amanah Allah, tersebut, saya juga sedih karena masih jauh tertinggal dalam mempersiapkan perbekalan pada darah daging saya jika sekiranya Allah memilih skenario yang tidak jauh berbeda dengan kasus mba Musyaropah. Bukan, bukan perbekakan finansial yang saya kuatirkan, tapi bekal-bekal primer yang lebih dibutuhkan dari sekadar sekarung emas batangan.
Jika sudah begini mau gak mau saya jadi teringat oleh kisah nyata yang dialami oleh keponakan seorang sahabat. Sebut saja keponakan sahabat saya itu, Budi. Budi lahir dari orang tua yang berkecukupan. Dia terlahir setelah penantian yang cukup panjang bagi orangtuanya. Maka sejak kehadirannya, jadi lah Budi raja kecil di tengah keluarganya. Apa saja yang diinginkannya dikabuli oleh Ayah Ibu.
Mungkin dengan dalih ingin selalu menyenangkan hati anak semata wayang mereka, orang tua Budi, tak pernah menolak keinginan sang anak. Toh, mereka mampu mengabulkannya. Setahun, dua tahun, tiga tahun hingga tahun-tahun berikutnya Budi dibesarkan dengan cara yang sama. Hingga akhirnya di tahun ke sepuluh, sebuah musibah menimpa mereka. Ibu sang anak meninggal secara mendadak di usia yang relatif muda. Yang ironisnya, tak selang beberapa bulan giliran sang Ayah yang dipanggil yang Kuasa.
Shock pasti. Tapi itu garis takdir yang tak bisa diganggu gugat. Budi yang baru masuk usia remaja tersebut seakan kehilangan pegangan.
Setidaknya dia mewariskan semua harta peninggalan orang tuanya sehingga tak perlu memikirkan kebutuhan pokok dan biaya pendidikannya kelak, begitu pikir semua orang. Tapi nyatanya, orang tua budi tidak mempersiapkan sebuah rencana yang matang terkait dengan kasus-kasus yang tak umum seperti ini. Alhasil sepeninggal orang tuanya, banyak pihak, terutama keluarga dekatnya yang mengklaim harta yang orang tuanya adalah milik mereka. Ya, mereka sibuk memperebutkan harta warisan milik seorang anak yatim, tanpa sedikitpun beritikad untuk mengasuh sang anak.
Beruntung ayah sahabat saya segera menyelamatkan sang anak. Ya, sayangnya hanya sang anak yang bisa terselamatkan. Sebagai kerabat jauh, ayah sahabat saya yang seorang pendidik tersebut, merasa bertanggung jawab akan segala kebutuhan Budi. Baru beberapa hari mengasuh Budi, sang ayah menyadari betapa orang tua Budi semasa hidupnya benar-benar tak mempersiapkan apapun untuk bocah malang tersebut. Selain harta warisan yang berlimpah yang kini diperebutkan oleh kerabat dekatnya. Orang tua budi hanya meninggalkan anak semata wayangnya dengan sifat manja yang kelewat batas.
Di usia beranjak remaja Budi masih belum bisa mengurus dirinya sedikitpun. Ya, jangankan mengambil nasi beserta lauknya di dapur, Budi juga tak bisa menyuap sendiri. Budi tak bisa berbagi pada hal-hal kecil yang dia miliki. Budi tidak paham bagaimana seharusnya menggunakan pakaian. Budi akan meledak-ledak karena keinginannya tidak terpenuhi. Budi sang raja kecil, tak menyadari musibah besar atas kematian orangtuanya ini justru titik balik baginya untuk menjadi insan normal.
Ya, kasus ini bukan skenario sinetron ataupun kisah dalam novel. Ini kisah nyata yang para pelakonnya ada bertebaran di sekitar kita (baik yang masih memiliki orang tua utuh ataupun tidak). Ini bukan kali pertama saya mendengar kisah sejenis, ragamnya banyak, tapi inti dari kisah-kisah sejenis ini memiliki inti yang sama. Intinya, sama-sama kesalahkaprahan orang tua akan arti sebuah bekal hidup dan arti cinta.
Ah, saya sadar saya bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa untuk bicara panjang lebar tentang sistem pengasuhan yang baik. Toh saya sendiri masih sering sutris mengahadapi tingkah seorang ismail beserta adiknya. Saya masih banyak alpa menjadi role model yang oke bagi mereka. Kadang saya merasa sangat labil dan rapuh di hadapan mereka. Tapi seburuk apapun yang saya rasakan sebagai orang tua, saya menyadari bekal utama apa yang harus saya persiapkan untuk mereka dalam menghadapi kejamnya dunia ini (buset kaya acara reality show gini :p). Setidaknya menurut saya dan suami pendidikan karakter mumpuni yang dibingkai oleh akidah yang lurus, adalah modal yang harus mereka miliki. Dan kami sadar sekali banyak PR yang harus kami kerjakan untuk membekali mereka
(bersambung dulu deh...)
Dan mup-on nya saya kali ini ingin membahas tentang kabar duka yang datang bulan ini. Siang hari tanggal 20 Oktober lalu, seorang teman menghubungi saya. Dengan suara bergetar beliau menyampaikan berita duka atas berpulangnya salah seorang alumni rohis SMA, mbak Musyaropah, di usianya yang ke-36. Inalillahi wa inailaihi rajiun.
Mendengar berita tersebut perasaan langsung campur aduk. Sedih, tentu saja rasa itu yang dominan. Namun saya pribadi tidak terlalu terkejut mendapat berita tersebut, mengingat sudah beberapa pekan beliau dirawat inap di RS Darmais. Kanker darah stadium 1 nya sudah menyebar dan menggerogoti tubuhnya lebih dari 70%.
Dulu sekali, jika mendengar berita semacam ini, lantas saya akan mengasihani almarhumah/almarhum. Kasihan karena mereka telah meninggalkan orang-orang yang mereka cintai. Kasihan, karena mereka tidak bisa melanjutkan kehidupan di dunia lagi. Kasihan karena mereka berhadapan dengan sakitnya sakratul maut
Tapi seiring berjalannya waktu saya sadar, yang patut dikasihani dalam hal ini justru orang-orang yang ditinggalkan. Karena semua kenangan hanya bisa dikenang bagi mereka yang hidup.
Memang kerugian macam apa yg didapat bagi orang yang lebih dahulu meninggalkan dimensi kehidupan yang kotor dan bergetah ini? Bukankah dunia bagi kita yang bernyawa ini isinya hanya rentetan ujian? Baik itu ujian dalam kesabaran maupun kesyukuran. Ya, ini bukan surga yang di dalamnya hanya melulu kebahagiaan kan.
Masalah apakah mereka yg berpulang sudah ada kecukupan amal atau belum, itu hal lain. Sebab tak ada jaminan saat kita bisa hidup 100th lebih lama dari yang ditetapkan, maka amal baik kita akan semakin banyak. Bisa jadi justru sebaliknya.
Mengasihani sesorang yang lebih dahulu meninggalkan dimensi ini, seakan membohongi diri, bahwa kita akan kekal di dunia yang tak sempurna ini.
Spesial kasus beliau, saya mengasihani tiga buah hatinya, terutama putri bungsu beliau yang belum genap usia 3 tahun. Batita cantik tersebut baru saja disapih ketika sang ibu mulai dirawat beberapa bulan lalu, dan saat itu beliau belum divonis leukemia.
Saya membayangkan bagaimana kehidupan bocah kecil tersebut setelah kehilangan sosok tumpuannya. Beruntung mbak Musyaropah memiliki keluarga besar dan suami yang baik. Saya yakin anak-anak beliau tidak akan terlantar setelah kepergiannya, insyaAllah.
Tapi tentu tiap ibu yang mendengar berita ini pasti akan langsung teringat akan anak sendiri, setidaknya itu yang terjadi pada saya. Terlepas dari keyakinan bahwa Allah selalu memiliki rencana indah dibalik tiap ketetapannya, saya tetap tidak bisa membayangkan anak-anak saya yang masih di bawah umur harus berpisah selama-lamanya dengan saya.
Sama besarnya saya mempercayai bahwa anak-anak mbak Musyaropah akan dijaga dengan sanak saudaranya, saya juga percaya hal yang sama akan dialami oleh anak-anak saya jika hal semacam ini menimpa pada saya. Namun saya meyakini bimbingan dan asuhan ibu (yang sehat secara fisik dan mental) adalah yang terbaik bagi anak-anak mereka, dibanding asuhan siapapun.
Karenanya sejak dulu saya paling gak kuasa kalau sedang membahas soal anak yatim piatu. Kadang mata saya sudah basah hanya karena membaca plang petunjuk arah yang betuliskan "yayasan yatim piatu" atau "panti asuhan", di pinggir jalan. Reaksi yang lebay, memang, tapi begitu lah yang selalu terjadi. Saya merasa hancur dan gak berdaya membayangkan kehidupan para penghuni yayasan tersebut.
foto ini diambil dari sini |
Cukup bagi saya mengetahui anak-anak di bawah umur yang kebutuhannya akan perhatian sgt tinggi tersebut, tak bisa berjumpa SELAMANYA dengan orang tua mereka, sudah sukses membuat hati berasa diiris-iris plus diolesi cuka, pediiiih cuy. Ditambah ketika menyadari bahwa kemampuan tangan ini tak seberapa untuk merangkul anak-anak yg pada diri mereka ada kewajiban saya untuk menyantuni.
Seharusnya saya belum bisa tidur nyenyak ketika tahu ismail dan belkisa yang darah daging saya sendiri sudah terpenuhi kebutuhan jasmani dan rohaninya, sementara ada anak-anak saya yang lain (yang Allah beri tanggung jawab atas mereka kepada saya) masih belum tercukupi kebutuhannya. Ya, saya merasa kerdil :(
Selain merasa kerdil karena keterbatasan kemampuan merengkuh sebanyak-banyaknya anak-anak, amanah Allah, tersebut, saya juga sedih karena masih jauh tertinggal dalam mempersiapkan perbekalan pada darah daging saya jika sekiranya Allah memilih skenario yang tidak jauh berbeda dengan kasus mba Musyaropah. Bukan, bukan perbekakan finansial yang saya kuatirkan, tapi bekal-bekal primer yang lebih dibutuhkan dari sekadar sekarung emas batangan.
Jika sudah begini mau gak mau saya jadi teringat oleh kisah nyata yang dialami oleh keponakan seorang sahabat. Sebut saja keponakan sahabat saya itu, Budi. Budi lahir dari orang tua yang berkecukupan. Dia terlahir setelah penantian yang cukup panjang bagi orangtuanya. Maka sejak kehadirannya, jadi lah Budi raja kecil di tengah keluarganya. Apa saja yang diinginkannya dikabuli oleh Ayah Ibu.
Mungkin dengan dalih ingin selalu menyenangkan hati anak semata wayang mereka, orang tua Budi, tak pernah menolak keinginan sang anak. Toh, mereka mampu mengabulkannya. Setahun, dua tahun, tiga tahun hingga tahun-tahun berikutnya Budi dibesarkan dengan cara yang sama. Hingga akhirnya di tahun ke sepuluh, sebuah musibah menimpa mereka. Ibu sang anak meninggal secara mendadak di usia yang relatif muda. Yang ironisnya, tak selang beberapa bulan giliran sang Ayah yang dipanggil yang Kuasa.
Shock pasti. Tapi itu garis takdir yang tak bisa diganggu gugat. Budi yang baru masuk usia remaja tersebut seakan kehilangan pegangan.
Setidaknya dia mewariskan semua harta peninggalan orang tuanya sehingga tak perlu memikirkan kebutuhan pokok dan biaya pendidikannya kelak, begitu pikir semua orang. Tapi nyatanya, orang tua budi tidak mempersiapkan sebuah rencana yang matang terkait dengan kasus-kasus yang tak umum seperti ini. Alhasil sepeninggal orang tuanya, banyak pihak, terutama keluarga dekatnya yang mengklaim harta yang orang tuanya adalah milik mereka. Ya, mereka sibuk memperebutkan harta warisan milik seorang anak yatim, tanpa sedikitpun beritikad untuk mengasuh sang anak.
Beruntung ayah sahabat saya segera menyelamatkan sang anak. Ya, sayangnya hanya sang anak yang bisa terselamatkan. Sebagai kerabat jauh, ayah sahabat saya yang seorang pendidik tersebut, merasa bertanggung jawab akan segala kebutuhan Budi. Baru beberapa hari mengasuh Budi, sang ayah menyadari betapa orang tua Budi semasa hidupnya benar-benar tak mempersiapkan apapun untuk bocah malang tersebut. Selain harta warisan yang berlimpah yang kini diperebutkan oleh kerabat dekatnya. Orang tua budi hanya meninggalkan anak semata wayangnya dengan sifat manja yang kelewat batas.
Di usia beranjak remaja Budi masih belum bisa mengurus dirinya sedikitpun. Ya, jangankan mengambil nasi beserta lauknya di dapur, Budi juga tak bisa menyuap sendiri. Budi tak bisa berbagi pada hal-hal kecil yang dia miliki. Budi tidak paham bagaimana seharusnya menggunakan pakaian. Budi akan meledak-ledak karena keinginannya tidak terpenuhi. Budi sang raja kecil, tak menyadari musibah besar atas kematian orangtuanya ini justru titik balik baginya untuk menjadi insan normal.
Ya, kasus ini bukan skenario sinetron ataupun kisah dalam novel. Ini kisah nyata yang para pelakonnya ada bertebaran di sekitar kita (baik yang masih memiliki orang tua utuh ataupun tidak). Ini bukan kali pertama saya mendengar kisah sejenis, ragamnya banyak, tapi inti dari kisah-kisah sejenis ini memiliki inti yang sama. Intinya, sama-sama kesalahkaprahan orang tua akan arti sebuah bekal hidup dan arti cinta.
Ah, saya sadar saya bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa untuk bicara panjang lebar tentang sistem pengasuhan yang baik. Toh saya sendiri masih sering sutris mengahadapi tingkah seorang ismail beserta adiknya. Saya masih banyak alpa menjadi role model yang oke bagi mereka. Kadang saya merasa sangat labil dan rapuh di hadapan mereka. Tapi seburuk apapun yang saya rasakan sebagai orang tua, saya menyadari bekal utama apa yang harus saya persiapkan untuk mereka dalam menghadapi kejamnya dunia ini (buset kaya acara reality show gini :p). Setidaknya menurut saya dan suami pendidikan karakter mumpuni yang dibingkai oleh akidah yang lurus, adalah modal yang harus mereka miliki. Dan kami sadar sekali banyak PR yang harus kami kerjakan untuk membekali mereka
(bersambung dulu deh...)
Komentar
Posting Komentar