Cerita di Akhir Oktober (bagian 2)
Di tengah segambreng tanggung jawab kami untuk mempersiapkan bekal kehidupan pada anak-anak, sering kali saya khawatir jika
membayangkan bahwa batas usia kami tak sepanjang rencana-rencana kami.
Ya, kalau sudah begini memang ilmu ikhlas lah yang harus diaplikasikan.
Meyakini bahwa setiap yang saya miliki di dunia ini hanyalah
titipan-Nya, selalu membuat saya merasa jauh lebih tenang. Meyakini
bahwa doa, adalah sebaik-baiknya senjata juga membuat saya merasa jauh
lebih kukuh. Selain itu, kami mencoba mempersiapkan mental anak-anak
akan kejadian di luar rencana.
Awalnya sulit membahasakan bahwa kehidupan ini fana dan tak abadi pada ismail. Sebab seumur hidupnya, belum ada satu momen kematian dari mahluk hidup di sekitarnya yang nyata dan dapat dijadikan pelajaran. Saat dia menginjak usia 4 tahun, kami mengajak ismail dan adiknya yang belum genap berumur 1 tahun untuk berziarah ke makam pahlawan di kalibata. Sebenarnya sih, kedatangan kami di sana lebih karena untuk melampiaskan rasa penasaran Adnan akan isi bangunan unik yang saban hari dia lewati saat ngajar di mampang. Ya, gerbang taman makam pahlwan kalibata kan memang unik dan menarik. Buat orang asing seperti suami, itu sesuatu banget ada ukiran etnik besar yang cantik di tengah ibu kota yang semarawut.
Karena mematuhi peraturan dari sang penjaga, kami yang kategori banci kamera ini harus menahan diri untuk tidak putu-putu bagian dalam makam :p Setelah beberapa ratus meter berkeliling di area pemakaman yang jauh dari nuansa horor tersebut, ismail masih belum menyadari, apa yang ada di dalam batu-batu nisan yang terpancang gagah dan menyebar rapih di hadapannya. Hingga akhirnya saya mulai menjelaskan, bahwa di dalam batu-batu itu ada tubuh orang yang sudah meninggal.
Saya pikir ismail akan bergidik ngeri mendengar penjelasan itu, tapi ternyata saya salah. Ismail tetap santai. Dia malah sibuk menanyakan, kenapa orang-orang tersebut meninggal. "ada yang sakit, ada yang saat perang, macam-macam, bang". Ismail pun ber-oh-oh tanda mengerti. Lalu saya melanjutkan "Semua manusia kan nantinya akan meninggal, bang". Ismail masih diam. "Semuanya, mami, babo, abang..". Kali ini ismail mulai menangkap pesan yang ingin saya sampaikan.
"Hah? Masa Babo, Mami, Abang juga mati sih?" ismail merengek gak terima.
"iya Bang, kan kita mahluk hidup...semua yang hidup pasti akan mati.." jelas saya.
"enggaaakk....abang ga mau Babo, Mami mati....terus aja nyala,"
Eaaalla, dia pikir kita neon apa? Bisa mati dan nyala :p
"Bukan 'nyala', Bang, Tapi 'hidup'" ralat saya ga sabar.
"iya, abang maunya kita hidup terussss...." rengeknya lagi.
"ihhh.." saya beneran merinding ngebayangin akan terus hidup di dunia ini. Macam keabadian yang dirundukan oleh para nenek sihir di kisah-kisah fairy tales itu. "Mami gak mau, ah, kalau hidup terus."
"Abang gak mau mati!" Kali ini Ismail mengambil sikap teguh.
Adnan yang dari tadi menikmati panorama di sekitarnya, merasa terganggu dengan obrolan kami tersebut.
"udah Annisa, dia masih kecil. Dia masih belum bisa terima hal itu." ujar adnan.
Ya, saya paham. Tapi ga ada salahnya untuk sounding hal ini sejak dini kan? Saya hanya gak mau, jika tetiba ismail berhadapan dengan kasus kematian dari orang yang dicintainya, akan membuatnya lebih tidak menerima kenyataan. Tapi, ya saya mencoba meyakinkan diri, bahwa ada saatnya ismail akan paham dengan sendirinya.
Hingga akhirnya setahun kemudian, salah seorang kerabat yang juga tetangga orang tua saya meninggal di usia senja. Karena rumah kerabat saya itu pas di hadapan rumah ortu, jadi kesibukan mereka mempersiapkan kedatangan jenazah, memasang tenda, dan menerima tamu takziah bisa disaksikan oleh ismail.
"Bang, kakeknya Keke meninggal. nanti kita takziah ya.."
"kenapa kakek Keke meninggal, mami?"
"karena sakit, bang. Semua yang hidup kan memang akan meninggal..." Yap, ini bentuk usaha tiada henti saya untuk sounding hal semacam ini ke ismail :p
Seperti yang pernah saya ceritakan di sini Ismail memang anak yg sensitif dan mudah menangis. Maka melihat mata ismail mulai basah mendengar penjelasan saya tadi bukan sesuatu yang luar biasa banget buat saya. Hingga akhirnya saya pun mulai terenyuh ketika ismail bilang,
"Abang ga mau Pae (panggilan untuk ayah saya) meninggal juga". Tangisnya pecah sambil memeluk saya.
Deg! Saya juga ga mau. Ah, tepatnya belum siap.
Kalau saya saja masih belajar untuk menerima hal tersebut, bagaimana dengan bocah lima tahun ini? Semoga apa yang saya lakukan padanya selama ini tidak melampaui batas.
Namun walau sedih, Ismail dengan suka cita datang takziah. Setelah mendoakan jenazah dan duduk manis menemani saya yang sedang berbincang dengan istri mendiang, Ismail tidak menyia-nyiakan waktu untuk bermain dengan Keke (karena.mereka memang jarang berjumpa).
Sepulangnya dari bermain, Ismail masih terkesan dengan momen takziah tadi. Dia banyak bertanya soal kematian. Saya berusaha menjelaskan sesederhana mungkin namun optimal.
Ismail tampak puas dengan penjelasan saya. Matanya berbinar.
"Jadi kita setelah mati ketemu lagi ya, Mami?" tanyanya butuh kepastian.
"iya insyaAllah, asalkan kita berusaha menjadi orang baik"
"asssiiikkk," soraknya girang. Selanjutnya dia sibuk ngoceh membayangkan seperti apa kehidupan indah di akhirat bersama teman-teman dan sepupu-sepupunya kelak.
Ya, bocah lima tahun ini sepertinya sudah mulai menangkap bahwa kehidupannya saat ini tidaklah permanen. Hanya saja Ismail pasti belum tahu, kelak betapa sulitnya untuk menahan diri agar tidak melakukan hal buruk di dimensi yang bernama dunia ini. Dan saya tahu pasti, sebagai orang tua, kami memiliki tanggung jawab besar untuk mempersiapkan dirinya berhadapan dengan dunia yang baru dipijaknya lima setengah tahun belakangan ini.
Semoga kami bisa memenuhi amanah besar tersebut walau sambil tertatih membenahi diri sendiri. Dan yang terpenting semoga Allah SWT ridho dengan upaya kami, setidaknya upaya ini dapat meberatkan amalan kebaikan kami kelak. Aamiin.
Awalnya sulit membahasakan bahwa kehidupan ini fana dan tak abadi pada ismail. Sebab seumur hidupnya, belum ada satu momen kematian dari mahluk hidup di sekitarnya yang nyata dan dapat dijadikan pelajaran. Saat dia menginjak usia 4 tahun, kami mengajak ismail dan adiknya yang belum genap berumur 1 tahun untuk berziarah ke makam pahlawan di kalibata. Sebenarnya sih, kedatangan kami di sana lebih karena untuk melampiaskan rasa penasaran Adnan akan isi bangunan unik yang saban hari dia lewati saat ngajar di mampang. Ya, gerbang taman makam pahlwan kalibata kan memang unik dan menarik. Buat orang asing seperti suami, itu sesuatu banget ada ukiran etnik besar yang cantik di tengah ibu kota yang semarawut.
foto ini diambil di mari |
Karena mematuhi peraturan dari sang penjaga, kami yang kategori banci kamera ini harus menahan diri untuk tidak putu-putu bagian dalam makam :p Setelah beberapa ratus meter berkeliling di area pemakaman yang jauh dari nuansa horor tersebut, ismail masih belum menyadari, apa yang ada di dalam batu-batu nisan yang terpancang gagah dan menyebar rapih di hadapannya. Hingga akhirnya saya mulai menjelaskan, bahwa di dalam batu-batu itu ada tubuh orang yang sudah meninggal.
Saya pikir ismail akan bergidik ngeri mendengar penjelasan itu, tapi ternyata saya salah. Ismail tetap santai. Dia malah sibuk menanyakan, kenapa orang-orang tersebut meninggal. "ada yang sakit, ada yang saat perang, macam-macam, bang". Ismail pun ber-oh-oh tanda mengerti. Lalu saya melanjutkan "Semua manusia kan nantinya akan meninggal, bang". Ismail masih diam. "Semuanya, mami, babo, abang..". Kali ini ismail mulai menangkap pesan yang ingin saya sampaikan.
"Hah? Masa Babo, Mami, Abang juga mati sih?" ismail merengek gak terima.
"iya Bang, kan kita mahluk hidup...semua yang hidup pasti akan mati.." jelas saya.
"enggaaakk....abang ga mau Babo, Mami mati....terus aja nyala,"
Eaaalla, dia pikir kita neon apa? Bisa mati dan nyala :p
"Bukan 'nyala', Bang, Tapi 'hidup'" ralat saya ga sabar.
"iya, abang maunya kita hidup terussss...." rengeknya lagi.
"ihhh.." saya beneran merinding ngebayangin akan terus hidup di dunia ini. Macam keabadian yang dirundukan oleh para nenek sihir di kisah-kisah fairy tales itu. "Mami gak mau, ah, kalau hidup terus."
"Abang gak mau mati!" Kali ini Ismail mengambil sikap teguh.
Adnan yang dari tadi menikmati panorama di sekitarnya, merasa terganggu dengan obrolan kami tersebut.
"udah Annisa, dia masih kecil. Dia masih belum bisa terima hal itu." ujar adnan.
Ya, saya paham. Tapi ga ada salahnya untuk sounding hal ini sejak dini kan? Saya hanya gak mau, jika tetiba ismail berhadapan dengan kasus kematian dari orang yang dicintainya, akan membuatnya lebih tidak menerima kenyataan. Tapi, ya saya mencoba meyakinkan diri, bahwa ada saatnya ismail akan paham dengan sendirinya.
Hingga akhirnya setahun kemudian, salah seorang kerabat yang juga tetangga orang tua saya meninggal di usia senja. Karena rumah kerabat saya itu pas di hadapan rumah ortu, jadi kesibukan mereka mempersiapkan kedatangan jenazah, memasang tenda, dan menerima tamu takziah bisa disaksikan oleh ismail.
"Bang, kakeknya Keke meninggal. nanti kita takziah ya.."
"kenapa kakek Keke meninggal, mami?"
"karena sakit, bang. Semua yang hidup kan memang akan meninggal..." Yap, ini bentuk usaha tiada henti saya untuk sounding hal semacam ini ke ismail :p
Seperti yang pernah saya ceritakan di sini Ismail memang anak yg sensitif dan mudah menangis. Maka melihat mata ismail mulai basah mendengar penjelasan saya tadi bukan sesuatu yang luar biasa banget buat saya. Hingga akhirnya saya pun mulai terenyuh ketika ismail bilang,
"Abang ga mau Pae (panggilan untuk ayah saya) meninggal juga". Tangisnya pecah sambil memeluk saya.
Deg! Saya juga ga mau. Ah, tepatnya belum siap.
Kalau saya saja masih belajar untuk menerima hal tersebut, bagaimana dengan bocah lima tahun ini? Semoga apa yang saya lakukan padanya selama ini tidak melampaui batas.
Namun walau sedih, Ismail dengan suka cita datang takziah. Setelah mendoakan jenazah dan duduk manis menemani saya yang sedang berbincang dengan istri mendiang, Ismail tidak menyia-nyiakan waktu untuk bermain dengan Keke (karena.mereka memang jarang berjumpa).
Sepulangnya dari bermain, Ismail masih terkesan dengan momen takziah tadi. Dia banyak bertanya soal kematian. Saya berusaha menjelaskan sesederhana mungkin namun optimal.
Saya jelaskan bahwa kematian bukan akhir dari kehidupan manusia, karena sesudahnya kehidupan yang abadi akan menunggu;
Saya jelaskan bahwa kehidupan abadi tersebut bermuara pada dua tempat, tempat nan indah yang menyenangkan atau tempat buruk yang menyeramkan;
Saya jelaskan pilihan kedua tempat tersebut bergantung dari perilaku kita di dunia yang dicatat oleh malaikat semasa hidup;
Saya jelaskan sikap baik seperti rajin sholat, membantu orang lain (orang tua, adik saudara, teman, dll), menahan diri dari marah, jujur dan bersikap menyenangkan akan dicatat sebagai perbuatan baik;
Saya jelaskan sikap buruk seperti mencuri, berbohong, malas sholat, melawan orang tua, bersikap jahat pada orang lain akan dicatat sebagai perbuatan buruk;
Saya jelaskan, bahwa kematian bukan suatu hal yang buruk yang menimpa seseorang;
Saya jelaskan hal buruk dari kematian hanya jika amalan yang dibawa orang tersebut lebih banyak buruknya;
Saya jelaskan bahwa setelah kematian kita bisa berjumpa kembali di tempat yang indah dan hidup abadi di dalamnya, caranya dengan sama-sama banyak berbuat baik dan mencoba sedapat mungkin tidak melakukan hal buruk.
Ismail tampak puas dengan penjelasan saya. Matanya berbinar.
"Jadi kita setelah mati ketemu lagi ya, Mami?" tanyanya butuh kepastian.
"iya insyaAllah, asalkan kita berusaha menjadi orang baik"
"asssiiikkk," soraknya girang. Selanjutnya dia sibuk ngoceh membayangkan seperti apa kehidupan indah di akhirat bersama teman-teman dan sepupu-sepupunya kelak.
Ya, bocah lima tahun ini sepertinya sudah mulai menangkap bahwa kehidupannya saat ini tidaklah permanen. Hanya saja Ismail pasti belum tahu, kelak betapa sulitnya untuk menahan diri agar tidak melakukan hal buruk di dimensi yang bernama dunia ini. Dan saya tahu pasti, sebagai orang tua, kami memiliki tanggung jawab besar untuk mempersiapkan dirinya berhadapan dengan dunia yang baru dipijaknya lima setengah tahun belakangan ini.
Semoga kami bisa memenuhi amanah besar tersebut walau sambil tertatih membenahi diri sendiri. Dan yang terpenting semoga Allah SWT ridho dengan upaya kami, setidaknya upaya ini dapat meberatkan amalan kebaikan kami kelak. Aamiin.
Komentar
Posting Komentar