Relatif itu...
Belakangan ini, entah kenapa, saya jadi demen banget liat foto-foto lama duo bocil. Mungkin ini karena efek handphone saya yang selama ini merangkap kamera andalan itu sudah RIP beberapa pekan terakhir. Hubungannya? Ya, situasi ini membuat saya malah punya banyak kesempatan liat foto-foto lama di berbagai penyimpanan (memory card, medsos, hingga folder2 yang tersebar di PC), ketibang melihat foto-foto terbaru.
Saat melihat, saya jadi tertakjub-takjub sendiri dibuatnya. Foto-foto bocils beberapa bulan lalu tampak sangat beda sekali dengan sosok mereka sekarang. Maklum, anak usia mereka kan memang masa pertumbuhan, apa lagi untuk kasus Belkisa, sebulan saja perbedaannya jauh banget.
Terus saya nemuin foto ini. Foto yang diambil suami saat berpapasan dengan kami ketika dia akan berangkat ke luar rumah. Sementara di sini saya baru mengantar pulang ismail dari sekolah di hari pertamanya. Kejadian ini terjadi lebih satu setengah tahun lalu. Pipi Ismail bersemu merah karena gembiranya memasuki lingkungan baru, kenalan dengan teman-teman baru dan guru-guru baru.
Saat itu, seperti kebanyakan orang tua di hari pertama sekolah, saya merasa cemas ismail akan lama beradaptasi dengan lingkungan baru (dalam hal ini sekolah). Bukan, bukan karena ismail tipe anak pemalu dan penakut seperti saya dulu saat seusianya. Alhamdulillah, untuk bersosialisai, ismail tipe anak yang supel. Dia senang berteman di mana pun. Dengan siapappun ismail selalu tertarik untuk menjalin pertemanan. Baik teman sebaya, dengan yang lebih muda darinya, maupun yang lebih tua.
Jadi kekhawatiran saya saat itu lebih karena ketergantungan ismail akan saya. Sebab kalau dibandingkan dengan sepupu-sepupu seusianya (objek pembandingnya cuma bisa mereka hehehe), ismail terlalu lengket pada saya. Mungkin efek karena sejak lahir nyaris 24 jam diasuh oleh saya, jadi sedekat dan sesayang apapun dengan nenek atau tantenya, ismail sulit dititipkan dengan mereka saat saya ada keperluan.
Betul saja, hari pertama sekolah ismail selalu sibuk memastikan saya masih eksis radius beberapa meter dari kelasnya. Dengan cara mencuri pandang ke luar, dia akan tampak lega kalau sudah melihat saya masih ada. Saat itu belkisa yang masih dua bulan dan ASIX mau ga mau harus dibawa serta sepanjang ismail belajar. Ya, repot pastinya :) Tapi, ternyata ga perlu sebulan ismail sudah bisa dilepas di sekolah, walau pas balik di rumah ya kembali nempel lagi kaya lumut :p
Ada kalanya, saya merasa jengkel dengan sikap ismail ini. Dan biasanya kejengkelan ini muncul saat saya sedang ada keperluan yang mengharuskan saya bergerak cepat di luar. Misal ke imigrasi, ke dokter, atau ke pasar sekalipun. Ya, ismail selalu ingin ikut ke manapun saya pergi, walau terkadang dia tidak suka pergi ke tempat tersebut. Alhasil di saaat butuh gerak cepat ismail menjadi tidak kooperatif.
Begitu juga aktivitas lainnya, ismail hanya ingin dibantu oleh saya walaupun di saat yang sama saya sedang melakukan akivitas lain, dan ada pilihan baginya dibantu dengan orang lain. Saat makan, saat mandi, saat istinja setelah buang air, dan lainnya, dia bersikukuh ingin dibantu oleh saya. Anehnya saat bermain di luar bersama temannya, ismail bisa berjam-jam melupakan saya :p Namun bagaimanapun jika dibandingkan dengan sebelum Belkisa lahir, Ismail banyak mengalami peningkatan untuk tidak diuatamakan.
Tapi tidak jarang, satu titik saya berpikir, apa kelak Ismail akan menjadi anak manja? Ngeri juga soalnya kalau ngebayangin ismail jadi anak mami hiiyyy :/. Tapi apa benar saya memanjakannya? Setelah saya evaluasi, sejauh ini saya hanya melakukan apa yang memang anak seusianya butuh bantuan. Saya tidak mudah meberikan sesuatu padanya, misalnya jajanan, mainan, atau hiburan. Kalau masalah keterikatannya dengan saya, mungkin itu hanya masalah waktu.
Dulu, saat saya kanak-kanak, saya setipe 11-12 dengan ismail. Sewaktu usia 10 tahun saya beberapa kali liburan ke rumah kerabat. Saya bermalam di rumah keponakan yang usianya sebaya dan akrab dengan saya. Sehari di sana rasanya seabad. Yang niatnya seneng-seneng malah jadi home sick. Padahal keponakan saya itu sering sekali bermalam di rumah saya hingga berhari-hari tanpa ditemani orang tua. Perlu diketahui pula, dia dua tahun lebih muda dari saya. Mengetahui saya home sick di hari kedua, ayahnya (yang berarti sepupu saya itu) bicara dengan baik-baik, "wah, nanti gimana kalau Adek besar nanti? Kan gak selamanya sama mama mulu."
Kalimat beliau itu sangat mengena dan berkesan buat saya hingga kini. Tapi apakah saya lantas berubah dan memiliki kesadaran, setelah itu? Nope :) Bahkan hingga saya kuliah, sempat beberapa bulan saya indekos di depok, alhasil kamar kos saya lebih sering kosong ketibang saya gunakan. Lalu apakah saya sekarang jadi sosok yang manja? Alhamdulilah untuk pertanyaan ini saya bisa menepuk dada dengan mengatakan, tidak :)
Apa buktinya? Ya contoh sederhana saja, saya beberapa tahun di rantau tanpa memiliki permasalahan yang berarti selain masalah ngidam kuliner nusantara yang teramat sangat (karena kerinduan akan kuliner tidak bisa dilepaskan melaui skype seperti kerinduan saya pada keluarga). Saya selalu mencoba melakukan kewajiban saya sebagai istri dan ibu dengan bertanggung jawab, tanpa berharap bantuan orang lain.
Meski selama berada di Bosnia kami tinggal tak jauh denga mertua, saya sama sekali tidak mau mengharapkan bantuan beliau untuk membantu saya dalam aktivitas sehari-hari. Tidak, untuk memomong ismail kecil ataupun nebeng makan masakan beliau karena malas masak, apa lagi urusan pakaian kotor dan setrikaan. Aduh, engga lah hay. Beliau sudah paruh baya, dan beliau punya segudang aktivitas di luar urusan domestiknya. Jadi masa iya saya bebankan lagi tanggung jawab RT saya, apa lagi saya memilih tidak bekerja di luar :) Pun kalau beberapa kesempatan saya harus meninitipkan anak, saya benar-benar merasa tidak nyaman dan sedapat mungkin segera pulang.
Begitu pula saat di jakarta, walau kami sempat beberapa lama seatap dengan orang tua, tapi urusan RT saya, seperti belanja kebutuhan sehari-hari keluarga kecil kami, mengolah makanan suami dan anak-anak, dan sejenisnya, ya itu urusan saya (dan suami), bukan urusan orang tua saya. Begitu pula tanggung jawab seperti biaya listrik dan air, saya selalu mengambil bagian dengan proposional. Ya, saya yang tak bisa pisah dengan orang tua hingga tingkat akhir kuliah ini, ternyata punya kesadaran cukup tinggi untuk berdikari, selepas menikah.
Maka mungkin berlebihan jika saya berpikir ismail kelak akan menjadi anak manja, yang melulu akan membuntuti saya seperti sekarang. Bukan tidak mungkin keterikatannya pada saya akan lepas lebih cepat dari yang saya bayangkan. Dan jika tiba masa tersebut, bisa jadi saya akan merindukan sosoknya yang selalu membayangi saya seperti sebelumnya.
Bukankah waktu menjadi sesuatu yang sangat relatif? Seperti sekarang saaat saya menatap foto-foto dan video-video rekaman bocils, Oh God....semua itu seakan terjadi sangat lampau. Seakan foto dan gambar bergerak mereka yang terabadikan tersebut terjadi beberapa abad silam. Serius, deh, saya merasa ya seperti begitu itu.
Bahkan sekarang saat melihat tingkah Belkisa, saya mencoba mengingat, bagaimana tingkah ismail saat se-usia yang sama. Dan ketika saya mengingat-ingat, saya seakan mengingat sebuah momen singkat-- benar-benar sangat singkat--yang berada di dimensi yang jauh. Padahal saat itu, saat ismail batita, seakan dunia saya hanya berputar pada kehidupannya dan itu semua durasinya terasa sangat panjang.
Maka, jika sekarang ismail sering tersedu berlinangan air mata minta ikut ke mana saya pergi, bukan tidak mungkin saya akan mendapati masa ketika saya selalu ingin dia datang mengunjungi saya. Dan tentu saya ingin mengulang masa-masa saat dia hanya ingin bersama saya.
Kapan itu? ya mungkin tak lama lagi, bukankah waktu akan menjadi sangat relatif? Dan bisa jadi saat itu saya yang akan menumpahkan air mata karena kerinduan, seperti kerinduan orang tua kami saat kami berada jauh di sebrang benua :') Lantas, saya tersadar kejengkelan saya itu adalah sebuah nikmat yang tak ternilai suatu saat kelak.
Saat melihat, saya jadi tertakjub-takjub sendiri dibuatnya. Foto-foto bocils beberapa bulan lalu tampak sangat beda sekali dengan sosok mereka sekarang. Maklum, anak usia mereka kan memang masa pertumbuhan, apa lagi untuk kasus Belkisa, sebulan saja perbedaannya jauh banget.
Terus saya nemuin foto ini. Foto yang diambil suami saat berpapasan dengan kami ketika dia akan berangkat ke luar rumah. Sementara di sini saya baru mengantar pulang ismail dari sekolah di hari pertamanya. Kejadian ini terjadi lebih satu setengah tahun lalu. Pipi Ismail bersemu merah karena gembiranya memasuki lingkungan baru, kenalan dengan teman-teman baru dan guru-guru baru.
Saat itu, seperti kebanyakan orang tua di hari pertama sekolah, saya merasa cemas ismail akan lama beradaptasi dengan lingkungan baru (dalam hal ini sekolah). Bukan, bukan karena ismail tipe anak pemalu dan penakut seperti saya dulu saat seusianya. Alhamdulillah, untuk bersosialisai, ismail tipe anak yang supel. Dia senang berteman di mana pun. Dengan siapappun ismail selalu tertarik untuk menjalin pertemanan. Baik teman sebaya, dengan yang lebih muda darinya, maupun yang lebih tua.
Jadi kekhawatiran saya saat itu lebih karena ketergantungan ismail akan saya. Sebab kalau dibandingkan dengan sepupu-sepupu seusianya (objek pembandingnya cuma bisa mereka hehehe), ismail terlalu lengket pada saya. Mungkin efek karena sejak lahir nyaris 24 jam diasuh oleh saya, jadi sedekat dan sesayang apapun dengan nenek atau tantenya, ismail sulit dititipkan dengan mereka saat saya ada keperluan.
Betul saja, hari pertama sekolah ismail selalu sibuk memastikan saya masih eksis radius beberapa meter dari kelasnya. Dengan cara mencuri pandang ke luar, dia akan tampak lega kalau sudah melihat saya masih ada. Saat itu belkisa yang masih dua bulan dan ASIX mau ga mau harus dibawa serta sepanjang ismail belajar. Ya, repot pastinya :) Tapi, ternyata ga perlu sebulan ismail sudah bisa dilepas di sekolah, walau pas balik di rumah ya kembali nempel lagi kaya lumut :p
Ada kalanya, saya merasa jengkel dengan sikap ismail ini. Dan biasanya kejengkelan ini muncul saat saya sedang ada keperluan yang mengharuskan saya bergerak cepat di luar. Misal ke imigrasi, ke dokter, atau ke pasar sekalipun. Ya, ismail selalu ingin ikut ke manapun saya pergi, walau terkadang dia tidak suka pergi ke tempat tersebut. Alhasil di saaat butuh gerak cepat ismail menjadi tidak kooperatif.
Begitu juga aktivitas lainnya, ismail hanya ingin dibantu oleh saya walaupun di saat yang sama saya sedang melakukan akivitas lain, dan ada pilihan baginya dibantu dengan orang lain. Saat makan, saat mandi, saat istinja setelah buang air, dan lainnya, dia bersikukuh ingin dibantu oleh saya. Anehnya saat bermain di luar bersama temannya, ismail bisa berjam-jam melupakan saya :p Namun bagaimanapun jika dibandingkan dengan sebelum Belkisa lahir, Ismail banyak mengalami peningkatan untuk tidak diuatamakan.
Tapi tidak jarang, satu titik saya berpikir, apa kelak Ismail akan menjadi anak manja? Ngeri juga soalnya kalau ngebayangin ismail jadi anak mami hiiyyy :/. Tapi apa benar saya memanjakannya? Setelah saya evaluasi, sejauh ini saya hanya melakukan apa yang memang anak seusianya butuh bantuan. Saya tidak mudah meberikan sesuatu padanya, misalnya jajanan, mainan, atau hiburan. Kalau masalah keterikatannya dengan saya, mungkin itu hanya masalah waktu.
Dulu, saat saya kanak-kanak, saya setipe 11-12 dengan ismail. Sewaktu usia 10 tahun saya beberapa kali liburan ke rumah kerabat. Saya bermalam di rumah keponakan yang usianya sebaya dan akrab dengan saya. Sehari di sana rasanya seabad. Yang niatnya seneng-seneng malah jadi home sick. Padahal keponakan saya itu sering sekali bermalam di rumah saya hingga berhari-hari tanpa ditemani orang tua. Perlu diketahui pula, dia dua tahun lebih muda dari saya. Mengetahui saya home sick di hari kedua, ayahnya (yang berarti sepupu saya itu) bicara dengan baik-baik, "wah, nanti gimana kalau Adek besar nanti? Kan gak selamanya sama mama mulu."
Kalimat beliau itu sangat mengena dan berkesan buat saya hingga kini. Tapi apakah saya lantas berubah dan memiliki kesadaran, setelah itu? Nope :) Bahkan hingga saya kuliah, sempat beberapa bulan saya indekos di depok, alhasil kamar kos saya lebih sering kosong ketibang saya gunakan. Lalu apakah saya sekarang jadi sosok yang manja? Alhamdulilah untuk pertanyaan ini saya bisa menepuk dada dengan mengatakan, tidak :)
Apa buktinya? Ya contoh sederhana saja, saya beberapa tahun di rantau tanpa memiliki permasalahan yang berarti selain masalah ngidam kuliner nusantara yang teramat sangat (karena kerinduan akan kuliner tidak bisa dilepaskan melaui skype seperti kerinduan saya pada keluarga). Saya selalu mencoba melakukan kewajiban saya sebagai istri dan ibu dengan bertanggung jawab, tanpa berharap bantuan orang lain.
Meski selama berada di Bosnia kami tinggal tak jauh denga mertua, saya sama sekali tidak mau mengharapkan bantuan beliau untuk membantu saya dalam aktivitas sehari-hari. Tidak, untuk memomong ismail kecil ataupun nebeng makan masakan beliau karena malas masak, apa lagi urusan pakaian kotor dan setrikaan. Aduh, engga lah hay. Beliau sudah paruh baya, dan beliau punya segudang aktivitas di luar urusan domestiknya. Jadi masa iya saya bebankan lagi tanggung jawab RT saya, apa lagi saya memilih tidak bekerja di luar :) Pun kalau beberapa kesempatan saya harus meninitipkan anak, saya benar-benar merasa tidak nyaman dan sedapat mungkin segera pulang.
Begitu pula saat di jakarta, walau kami sempat beberapa lama seatap dengan orang tua, tapi urusan RT saya, seperti belanja kebutuhan sehari-hari keluarga kecil kami, mengolah makanan suami dan anak-anak, dan sejenisnya, ya itu urusan saya (dan suami), bukan urusan orang tua saya. Begitu pula tanggung jawab seperti biaya listrik dan air, saya selalu mengambil bagian dengan proposional. Ya, saya yang tak bisa pisah dengan orang tua hingga tingkat akhir kuliah ini, ternyata punya kesadaran cukup tinggi untuk berdikari, selepas menikah.
Maka mungkin berlebihan jika saya berpikir ismail kelak akan menjadi anak manja, yang melulu akan membuntuti saya seperti sekarang. Bukan tidak mungkin keterikatannya pada saya akan lepas lebih cepat dari yang saya bayangkan. Dan jika tiba masa tersebut, bisa jadi saya akan merindukan sosoknya yang selalu membayangi saya seperti sebelumnya.
Bukankah waktu menjadi sesuatu yang sangat relatif? Seperti sekarang saaat saya menatap foto-foto dan video-video rekaman bocils, Oh God....semua itu seakan terjadi sangat lampau. Seakan foto dan gambar bergerak mereka yang terabadikan tersebut terjadi beberapa abad silam. Serius, deh, saya merasa ya seperti begitu itu.
Bahkan sekarang saat melihat tingkah Belkisa, saya mencoba mengingat, bagaimana tingkah ismail saat se-usia yang sama. Dan ketika saya mengingat-ingat, saya seakan mengingat sebuah momen singkat-- benar-benar sangat singkat--yang berada di dimensi yang jauh. Padahal saat itu, saat ismail batita, seakan dunia saya hanya berputar pada kehidupannya dan itu semua durasinya terasa sangat panjang.
Maka, jika sekarang ismail sering tersedu berlinangan air mata minta ikut ke mana saya pergi, bukan tidak mungkin saya akan mendapati masa ketika saya selalu ingin dia datang mengunjungi saya. Dan tentu saya ingin mengulang masa-masa saat dia hanya ingin bersama saya.
Kapan itu? ya mungkin tak lama lagi, bukankah waktu akan menjadi sangat relatif? Dan bisa jadi saat itu saya yang akan menumpahkan air mata karena kerinduan, seperti kerinduan orang tua kami saat kami berada jauh di sebrang benua :') Lantas, saya tersadar kejengkelan saya itu adalah sebuah nikmat yang tak ternilai suatu saat kelak.
Komentar
Posting Komentar