Atas Nama Cinta (Catatan kecil perjalanan...)
Dipostingkan di note FB tanggal 8 Juni 2009
=====
Memang benar, tidak ada yang abadi dalam hidup ini
Termasuk ketiadaan cinta abadi
Yang ada hanya Zat Yang Maha Abadi dengan segala cinta-Nya
***
Sore itu untuk pertama kali saya menyaksikan momen suci pengikatan dua anak manusia di tanah Bosnia. Seorang kerabat dekat suami menikah untuk kedua kalinya. Tentu saja perasaan saya bercampur aduk antara senang, takjub, haru, dan exited ketika menyaksikannya. Sebab, selain pertama kali melihat tradisi pernikahan di sini, kerabat yang menikah ini pun sangat dekat dengan kami. Tidak hanya dekat secara nasab oleh suami saya—Adnan, tapi juga dekat dengan lokasi tempat tinggal kami (6 meter dari depan rumah), dan yang terpenting kami dekat secara batin.
Dia salah seorang saudari sepupu sekaligus sesusu Adnan. Tidak hanya sebatas itu, dia juga yang mengenalkan Dien Islam pertama kali ke pada Adnan 4 tahun lalu. Tidak begitu jelas bagi saya, bagaimana sepak terjang wanita berusia 25 tahun ini dalam menggapai hidayah. Tapi satu yang pasti, proses yang dia lalui tersebut sangatlah sulit.
Misalnya, tentu bukan hal mudah baginya meninggalkan secara menyeluruh hingar bingar dunia menari yang ditekuni sejak kecil dan telah mengantarkannya ke dunia menari profesional (bahkan aib baginya kini untuk mengaitkan dunia tersebut dengan dirinya). Belum lagi dia harus belajar secara mandiri cara shalat yang benar beserta bacaannya, lalu belajar baca qur’an dan lain sebagainya (sebagai remaja yang lahir di Negara sekuler, tentu dia tidak pernah mengecap pendidikan agama di sekolah ataupun keluarga). Kemudian yang tersulit adalah istiqamah dengan hijab dan menegakkan shalat di tengah masyarakat yang permissive dan hedon. Ditambah harus menerima kecaman selama beberapa tahun pertama dari bibi dan paman—orang tua Adnan—yang saat itu tidak berkenan putra tunggal mereka mendekat dengan Islam…
Entah karena latar belakang hal tersebut, atau ada hal lainnya, yang pasti ikatan antara Adnan dan sepupunya ini terjalin begitu erat. Cinta kasih keduanya melebihi cinta kasih yang terbangun antara Adnan dengan kedua saudari kandungnya (yang konon sering menimbulkan kecemburuan). Bahkan sebelum saya menikah, Adnan lebih dulu memperkenalkan saudari susunya ini daripada anggota keluarganya yang lain.
Masih segar dalam ingatan saya apa yang dia katakan dulu ketika saya tanyakan perihal akhlak Adnan, “Annisa, dia saudara saya yang paling baik, halus, dan penyayang. Saya sangat tidak menerima jika ada orang yang menyakitinya dan mempermainkan perasaannya.…”. Wah, saat itu secara halus sepertinya dia mencoba ‘mengancam’ saya untuk tidak mempermainkan perasaan Adnan (lah siapa yg mau mainin?…kan wajar saya ingin tahu ahlak calon suami).
Saya juga ingat bagaimana mudahnya wanita ini menyatakan perasaannya pada saya, saat pertama kali kami chat… Dengan menggunakan sebuah karton besar dia menuliskan kalimat “I Love U Annisa” dan memampang dihadapan camera webnya via YM. Aha…betapa ekspresifnya dia, bahkan bertahun-tahun saya menjalin ukhuwah dengan saudari-saudari saya di tanah air, tapi kok rasanya masih tetap sulit bagi kami untuk memverbalkan perasaan tersebut, walaupun kami memiliki ‘rasa’ itu pula…
Sesampainya saya dan suami di bandara Sarajevo pertengahan april lalu, dia adalah salah satu dari dua wanita (selain ibu mertua) yang meneteskan air mata karena kebahagiaan yang tak terbendung menyambut kami. Dia pula yang sulit melepaskan pelukan dari saya dan Adna. Hanya saja segala suka cita yang kami rasakan pada pertemuan tersebut harus dirusak dengan suatu kenyataan bahwa saat itu dia sedang bersedih atas perceraiaannya.
Beberapa bulan sebelum keberangkatan kami ke Bosnia, Adnan menerima message offline singkat darinya yang berbunyi, “Saya saat ini sudah bercerai dan menunggu massa iddah”. Saat itu kami benar-benar terkejut dan hanya mampu mengucap istigfar.
Baru sepekan setelah kami tiba di Sarajevo, Adnan berani menanyakan perihal perceraian tersebut padanya. Dengan singkat dan lugas dia menjelaskan, “Kalau dia sudah menyatakan tidak mampu berhadapan dengan segala tanggung jawab sebagai suami dan setelahnya mengucapkan talak pada saya, lantas apa yang bisa saya perbuat?”. Saya tidak bisa berkomentar, begitu pula Adnan.
Saya geram. Ah, begitu lemahkah posisi wanita dalam hal ini? Begitu mudahkah seorang laki-laki menceraikan istrinya? Lantas kenapa ketika sudah 2 tahun mengarungi rumah tangga, baru menyatakan ketidaksanggupan? Apakah tidak dipertimbangkan sebelum akad? Ataukah baginya akad hanyalah sebuah prosesi yang tidak akan dipertanggungjwabakan kelak di hadapan Sang Khalik? Atau ijab qabul baginya tidak lebih dari sebuah cara untuk menghalalkan sesuatu yang haram?
“kalau sudah gini segala ‘kata cinta’ yang dulu diucapkan sudah tidak ada arti,” ucap suami saya setibanya di rumah. “Saya tau betapa besarnya cinta sepupu saya terhadap laki-laki itu dan begitu pula sebaliknya. Sayalah yang dulu selalu menjadi pihak ketiga, sebelum mereka menikah.” kata Adnan lagi. No comment lagi deh…tapi terus terang saat itu bulu kuduk saya meremang. Terbayang oleh saya harus berpisah dengan laki-laki yang dicintai dan telah sah menjadi suami. Yang menyakitkan, perpisahan tersebut terjadi karena sang suami tidak siap melanjutkan tanggung jawabnya sebagai seorang suami—setelah 2 tahun berumah tangga.
Namun saat itu, dalam hati kecil, saya tetap berharap mereka akan kembali rujuk.
Hingga akhirnya, kira-kira 3 pekan lalu, setelah mengantar saya chek up ke dokter, sepupu saya tersebut bicara dengan hati-hati. “annisa, sore ini saya akan dipertemukan oleh seorang ‘brother’ oleh teman saya. Brother ini 13 th lebih tua dari saya. Sejauh ini kami memiliki kesamaan pandangan dan prinsip. Doakan saya ya…” saya terdiam. Butuh waktu lama bagi saya untuk mencerna kata-katanya. ‘Seorang Brother’, ‘pandangan dan prinsip’, ‘Doakan saya’, apa maksudnya dia sedang ta’aruf ya? Sebelum kami berpisah, berkali-kali dia memohon doa restu kembali….
Malamnya saya ceritakan hal tersebut pada Adnan. Reaksinya saat itu hanya mengangkat kedua bahu dengan wajah tak acuh.
“katanya, dia sudah menceritakan hal ini terlebih dulu padamu,” ucap saya bingung.
“iya, tapi saya kurang setuju saja…” oalllaaa udah tau toh..ko kaya ga tau gitu sih…
“kenapa?”
“hmmm…ya…sebab saya tidak yakin dia bisa mencintai laki-laki ini seperti dia mencintai mantan suaminya dulu. Kalaupun pada akhirnya dia menerima laki-laki baru tersebut, itu lebih karena spupu saya ini berusaha bersikap logis. Memilih lelaki yang jauh lebih dewasa dan siap bertanggung jawab penuh atas pernikahan.”
Hah! Saya tergelak mendengarnya. Dalam hal ini, suami saya sepertinya lebih ‘perempuan’ dari saya. Dia begitu mengetengahkan sisi emosional yang terwakili oleh sebuah kata, ‘cinta’.
“Mungkin dia belajar dari pengalaman terdahulunya. Apa sih yang dia dapatkan setelah menikah dengan mengandalkan ‘cinta’? sebuah talak-kah?” Tanya saya retoris.
Suami saya terdiam dan kembali mengangkat kedua bahu, kemudian dia berucap pelan seakan bicara dengan diri sendiri, “entahlah, seharusnya kalau itu benar-benar cinta, tentu akan diiringi tanggung jawab”.
Yap, itu dia! Konsekuensi logis dari cinta adalah tanggung jawab. Tidak ada cinta tanpa tanggung jawab. Maka omong kosong jika ada 2 insan yang dimabuk asmara mendeklarasikan cinta, tanpa ikatan yang dapat dipertanggungjawabkan. Kalau saja status pernikahan yang merupakan satu langkah yang bertanggung jawab kelak akan tetap diminta pertanggungjawabannya, maka bagaimana dengan status di luar pernikahan?
Terkadang atas nama cinta, seorang wanita mau disentuh, dipeluk, dikecup dan seterusnya oleh laki-laki yang belum berani menerima tanggung jawab atas masa depan sang wanita;
Atas nama cinta seorang anak manusia mau mengakhiri hidupnya secara dramatis;
Atas nama cinta aqidah dan iman tergadai;
Atas nama cinta sebuah keluarga harus menerima aib dunia dan azab akhirat.
Ah bodoh….tolong jangan mengatasnamakan cinta pada sebuah nafsu. Kalau mantan suami sepupu kami yang sudah berani mendeklarasikan ‘cintanya’ dihadapan Sang Khalik masih mampu mundur, lantas apa yang bisa diharapkan dari ‘cinta’ seseorang yang belum bertanggung jawab pada Sang Pemilik Hidup?
Dan malam itu kami menutup hari dengan mendoakan kebahagian saudari kami tersebut.
***
Seminggu kemudian kami mendapat kabar bahwa sepupu kami tersebut akan melangsungkan pernikahannya yang kedua dalam kurun waktu tidak lebih 2 pekan. “Alhamdulillah, kalau memang sudah yakin kenapa harus ditunda?”. Walau terlafaz ucapan syukur dari mulut suami saya, tapi masih tampak sekali dia menyimpan kekecewaan. Ah…Adnan masih berharap saudari susunya akan kembali pada orang yang dulu sangat dicintainya.
***
Hingga waktu yang ditentukanpun tiba. Suasana suka cita memenuhi kediaman sepupu kami. Iring-iringan kendaraan mempelai laki-laki tiba—riuh dengan membunyikan klakson sepanjang jalan.
“Ini tradisi Bosnia, laki-laki menjemput mempelai wanita dengan cara seperti itu…” bisik ipar saya. Saya tersenyum karena teringat ketika kami dijemput di Bandara, iring-iringan kendaraan keluarga Adnan yang menjemput kami juga melakukan ‘keriuhan’ yang sama, meskipun saat itu tengah malam.
Setelah jamuan keluarga selesai, kami menuju Masjid Jami Istiklal-Sarajevo (pemberian pemerintah RI) untuk melakukan prosesi akad nikah. Lagi-lagi saya dan suami mendapat keistimewaan untuk mendampingi mempelai wanita di mobil utama pengantin. Ya, dari sekian banyak kerabat kami yang terpilih :D
“wah, serasa menjadi pengantin kedua kalinya,” ucap saya senang yang duduk di sisi kanan sepupu kami, sedangkan adnan di sisi kirinya.
Sepanjang perjalanan, dalam keheningan, kami bertiga saling bergenggaman tangan dan tersenyum. Dalam diam, terpancar riak kebahagiaan dari sepupu kami tersebut. Sepertinya suami saya pun menangkap hal tersebut. Pelan-pelan Adnan berkata dalam Bahasa Indonesia (ini cara kami membicarakan sesuatu yang rahasia di depan umum :D),
“Annisa, yang penting dia bahagia ya…saya tidak pernah melihat dia sebahagia ini sebelumnya.”
Aha! Dari kalimatnya tersebut, tampak jelas Adnan ‘menyerah’ dengan kenyataan bahwa sepupunya tersebut bahagia dengan pernikahan keduanya.
“Iya, yang penting dia bahagia…” jawab saya sambil memandangi sepupu kami tersebut. Namun sepertinya dia tidak peduli dangan perbincangan kami yang sarat dengan rahasia, karena terlalu sibuk menahan kebahagiaan yang membuncah.
Yaa...bukankah Allah pemilik hati dan mampu mebolak-balikkan hati? Jika dahulu seseorang begitu mencintai pasangannya, bukan tidak mungkin suatu saat rasa itu mati dan tergantikan dengan sosok lain.
Ah, dan yang terpenting dari semua itu, cintanya terjalin dalam ikatan suci yang bertanggung jawab…tidak sebatas nafsu yang mengatasnamakan cinta.
Ja Volim Te Sestri…aku mencintaimu saudari…
Barakallahulaka wa baraka ‘alayka wa jama’a baynakuma fii khair
(Sarajevo, 4 juni 2009)
=====
Memang benar, tidak ada yang abadi dalam hidup ini
Termasuk ketiadaan cinta abadi
Yang ada hanya Zat Yang Maha Abadi dengan segala cinta-Nya
***
Sore itu untuk pertama kali saya menyaksikan momen suci pengikatan dua anak manusia di tanah Bosnia. Seorang kerabat dekat suami menikah untuk kedua kalinya. Tentu saja perasaan saya bercampur aduk antara senang, takjub, haru, dan exited ketika menyaksikannya. Sebab, selain pertama kali melihat tradisi pernikahan di sini, kerabat yang menikah ini pun sangat dekat dengan kami. Tidak hanya dekat secara nasab oleh suami saya—Adnan, tapi juga dekat dengan lokasi tempat tinggal kami (6 meter dari depan rumah), dan yang terpenting kami dekat secara batin.
Dia salah seorang saudari sepupu sekaligus sesusu Adnan. Tidak hanya sebatas itu, dia juga yang mengenalkan Dien Islam pertama kali ke pada Adnan 4 tahun lalu. Tidak begitu jelas bagi saya, bagaimana sepak terjang wanita berusia 25 tahun ini dalam menggapai hidayah. Tapi satu yang pasti, proses yang dia lalui tersebut sangatlah sulit.
Misalnya, tentu bukan hal mudah baginya meninggalkan secara menyeluruh hingar bingar dunia menari yang ditekuni sejak kecil dan telah mengantarkannya ke dunia menari profesional (bahkan aib baginya kini untuk mengaitkan dunia tersebut dengan dirinya). Belum lagi dia harus belajar secara mandiri cara shalat yang benar beserta bacaannya, lalu belajar baca qur’an dan lain sebagainya (sebagai remaja yang lahir di Negara sekuler, tentu dia tidak pernah mengecap pendidikan agama di sekolah ataupun keluarga). Kemudian yang tersulit adalah istiqamah dengan hijab dan menegakkan shalat di tengah masyarakat yang permissive dan hedon. Ditambah harus menerima kecaman selama beberapa tahun pertama dari bibi dan paman—orang tua Adnan—yang saat itu tidak berkenan putra tunggal mereka mendekat dengan Islam…
Entah karena latar belakang hal tersebut, atau ada hal lainnya, yang pasti ikatan antara Adnan dan sepupunya ini terjalin begitu erat. Cinta kasih keduanya melebihi cinta kasih yang terbangun antara Adnan dengan kedua saudari kandungnya (yang konon sering menimbulkan kecemburuan). Bahkan sebelum saya menikah, Adnan lebih dulu memperkenalkan saudari susunya ini daripada anggota keluarganya yang lain.
Masih segar dalam ingatan saya apa yang dia katakan dulu ketika saya tanyakan perihal akhlak Adnan, “Annisa, dia saudara saya yang paling baik, halus, dan penyayang. Saya sangat tidak menerima jika ada orang yang menyakitinya dan mempermainkan perasaannya.…”. Wah, saat itu secara halus sepertinya dia mencoba ‘mengancam’ saya untuk tidak mempermainkan perasaan Adnan (lah siapa yg mau mainin?…kan wajar saya ingin tahu ahlak calon suami).
Saya juga ingat bagaimana mudahnya wanita ini menyatakan perasaannya pada saya, saat pertama kali kami chat… Dengan menggunakan sebuah karton besar dia menuliskan kalimat “I Love U Annisa” dan memampang dihadapan camera webnya via YM. Aha…betapa ekspresifnya dia, bahkan bertahun-tahun saya menjalin ukhuwah dengan saudari-saudari saya di tanah air, tapi kok rasanya masih tetap sulit bagi kami untuk memverbalkan perasaan tersebut, walaupun kami memiliki ‘rasa’ itu pula…
Sesampainya saya dan suami di bandara Sarajevo pertengahan april lalu, dia adalah salah satu dari dua wanita (selain ibu mertua) yang meneteskan air mata karena kebahagiaan yang tak terbendung menyambut kami. Dia pula yang sulit melepaskan pelukan dari saya dan Adna. Hanya saja segala suka cita yang kami rasakan pada pertemuan tersebut harus dirusak dengan suatu kenyataan bahwa saat itu dia sedang bersedih atas perceraiaannya.
Beberapa bulan sebelum keberangkatan kami ke Bosnia, Adnan menerima message offline singkat darinya yang berbunyi, “Saya saat ini sudah bercerai dan menunggu massa iddah”. Saat itu kami benar-benar terkejut dan hanya mampu mengucap istigfar.
Baru sepekan setelah kami tiba di Sarajevo, Adnan berani menanyakan perihal perceraian tersebut padanya. Dengan singkat dan lugas dia menjelaskan, “Kalau dia sudah menyatakan tidak mampu berhadapan dengan segala tanggung jawab sebagai suami dan setelahnya mengucapkan talak pada saya, lantas apa yang bisa saya perbuat?”. Saya tidak bisa berkomentar, begitu pula Adnan.
Saya geram. Ah, begitu lemahkah posisi wanita dalam hal ini? Begitu mudahkah seorang laki-laki menceraikan istrinya? Lantas kenapa ketika sudah 2 tahun mengarungi rumah tangga, baru menyatakan ketidaksanggupan? Apakah tidak dipertimbangkan sebelum akad? Ataukah baginya akad hanyalah sebuah prosesi yang tidak akan dipertanggungjwabakan kelak di hadapan Sang Khalik? Atau ijab qabul baginya tidak lebih dari sebuah cara untuk menghalalkan sesuatu yang haram?
“kalau sudah gini segala ‘kata cinta’ yang dulu diucapkan sudah tidak ada arti,” ucap suami saya setibanya di rumah. “Saya tau betapa besarnya cinta sepupu saya terhadap laki-laki itu dan begitu pula sebaliknya. Sayalah yang dulu selalu menjadi pihak ketiga, sebelum mereka menikah.” kata Adnan lagi. No comment lagi deh…tapi terus terang saat itu bulu kuduk saya meremang. Terbayang oleh saya harus berpisah dengan laki-laki yang dicintai dan telah sah menjadi suami. Yang menyakitkan, perpisahan tersebut terjadi karena sang suami tidak siap melanjutkan tanggung jawabnya sebagai seorang suami—setelah 2 tahun berumah tangga.
Namun saat itu, dalam hati kecil, saya tetap berharap mereka akan kembali rujuk.
Hingga akhirnya, kira-kira 3 pekan lalu, setelah mengantar saya chek up ke dokter, sepupu saya tersebut bicara dengan hati-hati. “annisa, sore ini saya akan dipertemukan oleh seorang ‘brother’ oleh teman saya. Brother ini 13 th lebih tua dari saya. Sejauh ini kami memiliki kesamaan pandangan dan prinsip. Doakan saya ya…” saya terdiam. Butuh waktu lama bagi saya untuk mencerna kata-katanya. ‘Seorang Brother’, ‘pandangan dan prinsip’, ‘Doakan saya’, apa maksudnya dia sedang ta’aruf ya? Sebelum kami berpisah, berkali-kali dia memohon doa restu kembali….
Malamnya saya ceritakan hal tersebut pada Adnan. Reaksinya saat itu hanya mengangkat kedua bahu dengan wajah tak acuh.
“katanya, dia sudah menceritakan hal ini terlebih dulu padamu,” ucap saya bingung.
“iya, tapi saya kurang setuju saja…” oalllaaa udah tau toh..ko kaya ga tau gitu sih…
“kenapa?”
“hmmm…ya…sebab saya tidak yakin dia bisa mencintai laki-laki ini seperti dia mencintai mantan suaminya dulu. Kalaupun pada akhirnya dia menerima laki-laki baru tersebut, itu lebih karena spupu saya ini berusaha bersikap logis. Memilih lelaki yang jauh lebih dewasa dan siap bertanggung jawab penuh atas pernikahan.”
Hah! Saya tergelak mendengarnya. Dalam hal ini, suami saya sepertinya lebih ‘perempuan’ dari saya. Dia begitu mengetengahkan sisi emosional yang terwakili oleh sebuah kata, ‘cinta’.
“Mungkin dia belajar dari pengalaman terdahulunya. Apa sih yang dia dapatkan setelah menikah dengan mengandalkan ‘cinta’? sebuah talak-kah?” Tanya saya retoris.
Suami saya terdiam dan kembali mengangkat kedua bahu, kemudian dia berucap pelan seakan bicara dengan diri sendiri, “entahlah, seharusnya kalau itu benar-benar cinta, tentu akan diiringi tanggung jawab”.
Yap, itu dia! Konsekuensi logis dari cinta adalah tanggung jawab. Tidak ada cinta tanpa tanggung jawab. Maka omong kosong jika ada 2 insan yang dimabuk asmara mendeklarasikan cinta, tanpa ikatan yang dapat dipertanggungjawabkan. Kalau saja status pernikahan yang merupakan satu langkah yang bertanggung jawab kelak akan tetap diminta pertanggungjawabannya, maka bagaimana dengan status di luar pernikahan?
Terkadang atas nama cinta, seorang wanita mau disentuh, dipeluk, dikecup dan seterusnya oleh laki-laki yang belum berani menerima tanggung jawab atas masa depan sang wanita;
Atas nama cinta seorang anak manusia mau mengakhiri hidupnya secara dramatis;
Atas nama cinta aqidah dan iman tergadai;
Atas nama cinta sebuah keluarga harus menerima aib dunia dan azab akhirat.
Ah bodoh….tolong jangan mengatasnamakan cinta pada sebuah nafsu. Kalau mantan suami sepupu kami yang sudah berani mendeklarasikan ‘cintanya’ dihadapan Sang Khalik masih mampu mundur, lantas apa yang bisa diharapkan dari ‘cinta’ seseorang yang belum bertanggung jawab pada Sang Pemilik Hidup?
Dan malam itu kami menutup hari dengan mendoakan kebahagian saudari kami tersebut.
***
Seminggu kemudian kami mendapat kabar bahwa sepupu kami tersebut akan melangsungkan pernikahannya yang kedua dalam kurun waktu tidak lebih 2 pekan. “Alhamdulillah, kalau memang sudah yakin kenapa harus ditunda?”. Walau terlafaz ucapan syukur dari mulut suami saya, tapi masih tampak sekali dia menyimpan kekecewaan. Ah…Adnan masih berharap saudari susunya akan kembali pada orang yang dulu sangat dicintainya.
***
Hingga waktu yang ditentukanpun tiba. Suasana suka cita memenuhi kediaman sepupu kami. Iring-iringan kendaraan mempelai laki-laki tiba—riuh dengan membunyikan klakson sepanjang jalan.
“Ini tradisi Bosnia, laki-laki menjemput mempelai wanita dengan cara seperti itu…” bisik ipar saya. Saya tersenyum karena teringat ketika kami dijemput di Bandara, iring-iringan kendaraan keluarga Adnan yang menjemput kami juga melakukan ‘keriuhan’ yang sama, meskipun saat itu tengah malam.
Setelah jamuan keluarga selesai, kami menuju Masjid Jami Istiklal-Sarajevo (pemberian pemerintah RI) untuk melakukan prosesi akad nikah. Lagi-lagi saya dan suami mendapat keistimewaan untuk mendampingi mempelai wanita di mobil utama pengantin. Ya, dari sekian banyak kerabat kami yang terpilih :D
“wah, serasa menjadi pengantin kedua kalinya,” ucap saya senang yang duduk di sisi kanan sepupu kami, sedangkan adnan di sisi kirinya.
Sepanjang perjalanan, dalam keheningan, kami bertiga saling bergenggaman tangan dan tersenyum. Dalam diam, terpancar riak kebahagiaan dari sepupu kami tersebut. Sepertinya suami saya pun menangkap hal tersebut. Pelan-pelan Adnan berkata dalam Bahasa Indonesia (ini cara kami membicarakan sesuatu yang rahasia di depan umum :D),
“Annisa, yang penting dia bahagia ya…saya tidak pernah melihat dia sebahagia ini sebelumnya.”
Aha! Dari kalimatnya tersebut, tampak jelas Adnan ‘menyerah’ dengan kenyataan bahwa sepupunya tersebut bahagia dengan pernikahan keduanya.
“Iya, yang penting dia bahagia…” jawab saya sambil memandangi sepupu kami tersebut. Namun sepertinya dia tidak peduli dangan perbincangan kami yang sarat dengan rahasia, karena terlalu sibuk menahan kebahagiaan yang membuncah.
Yaa...bukankah Allah pemilik hati dan mampu mebolak-balikkan hati? Jika dahulu seseorang begitu mencintai pasangannya, bukan tidak mungkin suatu saat rasa itu mati dan tergantikan dengan sosok lain.
Ah, dan yang terpenting dari semua itu, cintanya terjalin dalam ikatan suci yang bertanggung jawab…tidak sebatas nafsu yang mengatasnamakan cinta.
Ja Volim Te Sestri…aku mencintaimu saudari…
Barakallahulaka wa baraka ‘alayka wa jama’a baynakuma fii khair
(Sarajevo, 4 juni 2009)
Komentar
Posting Komentar