Welcome World, Belkisa #1
Pagi itu saya bersama suami dan ismail tiba di rumah sakit sebelum loket pendaftaran pasien dibuka. Demi menghindari macet di jam kerja, kami memang berangkat selepas subuh :D Ini memang rumah sakit pilihan bagi saya. Jauh sebelum saya hamil anak kedua, saya sudah mulai mencari tau tentang rumah sakit yang satu ini.
Dari sekian banyak pertimbangan ketika saya memilih rumah sakit dua yang utama adalah, nakes yang pro asi dan IMD, serta suport persalinan spontan/ normal. Dan kedua poin prioritas tersebut dimiliki oleh rumah sakit ibu anak budi kemuliaan pilihan saya tadi. Selain itu secara pelayanan dan fasilitas juga memuaskan. Dan biaya bersalin di sana cukup dengan budget kami yang tidak dicover oleh asuransi ini.
Kalaupun ada kelemahan, yang paling utama buat saya adalah lokasinya yang cukup jauh (sekitar 8-10km) dari kediaman saya di kelapa gading. Yah, jarak segitu memang normalnya bisa ditempuh 15-20menit, tapi seperti yang kita tahu, lalu lintas jakarta kan sudah tidak normal lagi :/ Maka untuk kontrol rutin kehamilan anak kedua ini butuh perjuangan tersendiri dalam menghadapi macet. Kalau sudah begitu banyak yang bertanya-tanya, "kenapa ga di deket rumah aja?".
Yap, dalam radius 2 km dari rumah setidaknya ada empat RS besar ternama, tapi saya sudah keburu memblack list kesemuanya. Karena berdasarkan pengalaman kerabat atau teman, nakesnya mudah memberikan sufor pada bayi yang baru lahir. Dan sepulang bersalin dari RS tersebut mereka 'dibekali' sufor oleh nakes.
Well, saya bukan anti pati pada sufor, tapi saya tidak setuju jika belum apa-apa ibu yang masih lemah dan cenderung labil pasca melahirkan sudah disodorkan sufor. Bukankah selain dekapan ibu, hal yang paling dinanti bayi adalah ASI? Bagaimana kalau si ibu pada awal menyusui mengalami kesulitan seperti yang sering dialami banyak ibu? Lantas tindakan menyodorkan sufor secara cuma-cuma pada ibu yang baru saja pulang dari RS menurut saya adalah tindakan yang tidak bisa ditolerir.
Cukuplah Ismail gagal ASI eksklusif karena ketidaksiapan ilmu dan mental saya dahulu. Untuk anak kedua kali ini saya ingin menciptakan atmosfer yang mendukung dalam pemberian ASI eksklusif. Maka perjuangan lebih lama di perjalanan saat kontrol rutin saya tempuh dengan legowo.
Maka Jadilah pagi itu kami berkesempatan keliling area rumah sakit. Namun berhubung bangunan ini bukan mall maupun area wisata yang memang dirancang untuk cuci mata, maka acara keliling-kelingnya tidak terlalu menarik untuk diseriusin. Selain itu perut saya sudah mulai meraung-raung kelaparan, ditambah Ismail mulai sewot karena sebelum pergi tadi dia belum sarapan. Maka kami bertiga bertekad bergrilya mencari tempat makan.
Sekembalinya makan, kami kembali menuju loket pendaftaran. Dan jreng-jreng, pasien yang mendaftar sudah ada beberapa orang dari saya (yang datang setelah subuh ini), sepertinya kami terlalu lama dalam mencari tempat makan tadi :p
Selama penantian pemeriksaan, saya ngobrol ngalur ngidul bersama suami. Menebak-nebak apakah bayi di dalam perut saya sudah mulai berada di posisi yang semestinya atau masih sama seperti pekan lalu (sungsang). Untuk kehamilan kali ini memang berbeda dengan kehamilan sang abang.
Saat hamil Ismail 'permasalahan' saya hanya mabuk berat di trimester awal saja. Mulai memasuki pekan ke-36, posisi kepalanya sudah pewe di jalan lahir. Saat mules-mules datang ke RS pun sudah pembukaan lima dan Ismail siap launching beberapa waktu kemudian.
Kehamilan kali ini sedikit berbeda. Kali ini saya mengalami keluhan yang umum dirasakan para bumil. Dari sesak nafas, ga nyaman tidur saat hamil tua, timbul gatal-gatal di area perut dan lengan, hingga posisi bayi yang belum mau berada ke jalan lahir. Saat memasuki pekan ke-38 kami masih tidak yakin berada di mana lagi posisi si janin kali ini. Karena sejak empat minggu sebelumnya calon anak kedua kami selalu di posisi yang berbeda tiap minggunya. Sempat di atas, sempat balik ke bawah, kemudian ke atas kembali, dan kedatangan kami pagi itu berharap mendapat kepastian dari dsog berada di mana kah kini bayi kami, jika masih sungsang masih mungkinkah diusahakan persalinan normal? Dan hal apa saja yang harus saya persiapkan.
Akhirnya giliran saya dipanggil masuk ruang periksa. Setelah 'ramah-tamah' bersama dokter, saya langsung ambil posisi untuk di USG. Dari USG diketahui kepala bayi saya oblig, kepalanya tidak tepat di atas, tidak juga melintang, melainkan miring. Mendengar laporan itu saya agak parno, bisa ga ya lahir spontan seperti abangnya. Namun ucapan sang dokter cukup menenangkan, "bayinya tidak terlalu besar bu, Lebih besar abangnya Dulu yg 3,25. Bayi yang sekarang diperkirakan dibawah 3kg. InsyaAllah masih bisa diusahakan untuk lahir normal"
Saya bisa bernafas lega, sampai akhirnya sang dokter menanyakn "ibu ketubannya pecah, ya? Ini sedikit sekali indeks ketubannya. Ibu merasa basah-basah gitu ga?" Semua pertanyaan dokter saya jawab dengan satu kalimat, "saya engga rasain apa-apa, dok."
"Wah bu, ketuban sedikit gini bahaya Bu." ujar dokter masih serius mengamati layar USG. "kayanya bayinya kelilit tali pusar ya?" kali ini ucapannya ditujukan pada rekannya "tapi kalau di USG gini ga begitu jelas benar atau tidaknya kelilit tali pusar. Bisa jadi tali pusarnya kebetulan berada di sekitar badannya. Eh, ini juga ada kista bu, cukup besar dan sebaiknya diangkat"
Apa yang saya kuatirkan beberapa bulan terakhir sepertinya akan menjadi nyata. Walau sang dokter menyerahkan segala keputusan kepada saya dan Adnan, namun beliau menjelaskan dengan indeks ketuban dibawah tiga sementara sampai detik itu saya belum mulai merasakan kontraksi apapun, risikonya akan besar. Dan lagi kista tersebut memang juga harus diangkat.
Setelah membulatkan tekad mengambil keputusan Oprasi, saya mulai mengabari ortu dan Kakak-kakak. Nyokap yang saat itu sedang berada di medan dengan mengantongi tiket pulang esok hari, langsung memutuskan pulang hari itu pula. "Waduh, Ma, gak apa-apa. Adek juga pas dioprasi ga bisa ditemenin mama ko. Kata dokter juga oprasinya besok pagi, Ma. Lagian sayang itu tiket pulang besoknya jadi hangus," ya, logika ekonomis saya gak terima dengan keputusan tersebut. Tapi apa mau dikata, si nyokap milih rugi beli tiket baru dibanding kehilangan kesempetan melihat cucu kesebelas beliau grand launching :D
Siang itu saya mulai masuk kamar rawat inap. Selagi Adnan sibuk mengurus administrasi, ismail bermain-main dengan saya di kamar.
"Kita ngapain sih di sini mami?"
"Nungguin adik bayi keluar, Bang. Abang seneng ga?"
Ismail mengangguk semangat kemudian mencomoti hidangan makan siang saya :p.
Beberapa waktu Kemudian Adnan datang sambil meminta list barang apa saja yang harus dibawa olehnya di rumah nanti. Saat meninggalkan rumah, kami tidak menyangka kedatangan untuk kontrol kali ini berakhir dengan putusan rawat inap di hari yang sama. Maka Selain pakaian yang melekat, saya tak membawa pakaian lainnya.
Setelah mengantongi secarik kertas berisi list kebutuhan dari saya, Adnan pulang kembali dengan Ismail. Awalnya cukup sulit untuk membujuk Ismail untuk ikut dengan Adnan. Selain di rumah kesempatan untuk nonton sangat dibatasi dibanding di RS, Ismail ingin tetap tinggal karena sangat penasaran dengan prosesi kehadiran adiknya :D Syukurnya setelah dibujuk dan diberi pengertian bahwa adiknya tidak akan muncul secara tiba-tiba dan bim salabim, akhirnya Ismail luluh.
Seperginya mereka berdua, saya mulai menggalau sambil menatap kosong tayangan kartun yang tadi Ismail tonton. Entah kenapa siang itu terasa jauh lebih panjang dibanding siang-siang saat puasa :p Segala rasa bercampur jadi satu. Dari perasaan senang ingin bertemu anggota keluarga kami termuda hingga ketakutan setengah mati menghadapi oprasi, timbul tenggelam bergantian. Pengalaman kakak-kakak saya yang kesemuanya dioprasi memberi kesan yang sangat menakutkan bagi saya.
Sambil berusaha menenangkan diri, saya jadi teringat dengan segala persiapan fisik yang telah saya lakukan selama ini demi kelancaran dalam menghadapi persalinan normal. Semua seakan sia-sia tak terpakai. "Ah, tapi tidak ada yang sia-sia pada hal postif yang telah dilakukan. Semua pasti ada manfaatnya," batin saya yakin sambil berusaha memejamkan mata.
Dalam hitungan beberapa jam kedepan mungkin saya akan sulit menemukan waktu untuk bisa seperti ini hingga beberapa tahun kedepan. Ya, kapan lagi bisa leyeh-leyeh, menyantap makanan lezat bergizi tanpa harus repot belanja dan diolah sebelumnya serta tidak diiringi rengekaan seorang (atau lebih) bocah yang menginginkan perhatian? Kapan lagi bisa tidak memikirkan ritual beberes dan bersih-bersih seperti sekarang. Hmm ini heaven, saya mencoba meyakini diri.
Tempat saya bermalam. 'heaven'? :)
Dari sekian banyak pertimbangan ketika saya memilih rumah sakit dua yang utama adalah, nakes yang pro asi dan IMD, serta suport persalinan spontan/ normal. Dan kedua poin prioritas tersebut dimiliki oleh rumah sakit ibu anak budi kemuliaan pilihan saya tadi. Selain itu secara pelayanan dan fasilitas juga memuaskan. Dan biaya bersalin di sana cukup dengan budget kami yang tidak dicover oleh asuransi ini.
Kalaupun ada kelemahan, yang paling utama buat saya adalah lokasinya yang cukup jauh (sekitar 8-10km) dari kediaman saya di kelapa gading. Yah, jarak segitu memang normalnya bisa ditempuh 15-20menit, tapi seperti yang kita tahu, lalu lintas jakarta kan sudah tidak normal lagi :/ Maka untuk kontrol rutin kehamilan anak kedua ini butuh perjuangan tersendiri dalam menghadapi macet. Kalau sudah begitu banyak yang bertanya-tanya, "kenapa ga di deket rumah aja?".
Yap, dalam radius 2 km dari rumah setidaknya ada empat RS besar ternama, tapi saya sudah keburu memblack list kesemuanya. Karena berdasarkan pengalaman kerabat atau teman, nakesnya mudah memberikan sufor pada bayi yang baru lahir. Dan sepulang bersalin dari RS tersebut mereka 'dibekali' sufor oleh nakes.
Well, saya bukan anti pati pada sufor, tapi saya tidak setuju jika belum apa-apa ibu yang masih lemah dan cenderung labil pasca melahirkan sudah disodorkan sufor. Bukankah selain dekapan ibu, hal yang paling dinanti bayi adalah ASI? Bagaimana kalau si ibu pada awal menyusui mengalami kesulitan seperti yang sering dialami banyak ibu? Lantas tindakan menyodorkan sufor secara cuma-cuma pada ibu yang baru saja pulang dari RS menurut saya adalah tindakan yang tidak bisa ditolerir.
Cukuplah Ismail gagal ASI eksklusif karena ketidaksiapan ilmu dan mental saya dahulu. Untuk anak kedua kali ini saya ingin menciptakan atmosfer yang mendukung dalam pemberian ASI eksklusif. Maka perjuangan lebih lama di perjalanan saat kontrol rutin saya tempuh dengan legowo.
Maka Jadilah pagi itu kami berkesempatan keliling area rumah sakit. Namun berhubung bangunan ini bukan mall maupun area wisata yang memang dirancang untuk cuci mata, maka acara keliling-kelingnya tidak terlalu menarik untuk diseriusin. Selain itu perut saya sudah mulai meraung-raung kelaparan, ditambah Ismail mulai sewot karena sebelum pergi tadi dia belum sarapan. Maka kami bertiga bertekad bergrilya mencari tempat makan.
Sekembalinya makan, kami kembali menuju loket pendaftaran. Dan jreng-jreng, pasien yang mendaftar sudah ada beberapa orang dari saya (yang datang setelah subuh ini), sepertinya kami terlalu lama dalam mencari tempat makan tadi :p
Selama penantian pemeriksaan, saya ngobrol ngalur ngidul bersama suami. Menebak-nebak apakah bayi di dalam perut saya sudah mulai berada di posisi yang semestinya atau masih sama seperti pekan lalu (sungsang). Untuk kehamilan kali ini memang berbeda dengan kehamilan sang abang.
Saat hamil Ismail 'permasalahan' saya hanya mabuk berat di trimester awal saja. Mulai memasuki pekan ke-36, posisi kepalanya sudah pewe di jalan lahir. Saat mules-mules datang ke RS pun sudah pembukaan lima dan Ismail siap launching beberapa waktu kemudian.
Kehamilan kali ini sedikit berbeda. Kali ini saya mengalami keluhan yang umum dirasakan para bumil. Dari sesak nafas, ga nyaman tidur saat hamil tua, timbul gatal-gatal di area perut dan lengan, hingga posisi bayi yang belum mau berada ke jalan lahir. Saat memasuki pekan ke-38 kami masih tidak yakin berada di mana lagi posisi si janin kali ini. Karena sejak empat minggu sebelumnya calon anak kedua kami selalu di posisi yang berbeda tiap minggunya. Sempat di atas, sempat balik ke bawah, kemudian ke atas kembali, dan kedatangan kami pagi itu berharap mendapat kepastian dari dsog berada di mana kah kini bayi kami, jika masih sungsang masih mungkinkah diusahakan persalinan normal? Dan hal apa saja yang harus saya persiapkan.
Akhirnya giliran saya dipanggil masuk ruang periksa. Setelah 'ramah-tamah' bersama dokter, saya langsung ambil posisi untuk di USG. Dari USG diketahui kepala bayi saya oblig, kepalanya tidak tepat di atas, tidak juga melintang, melainkan miring. Mendengar laporan itu saya agak parno, bisa ga ya lahir spontan seperti abangnya. Namun ucapan sang dokter cukup menenangkan, "bayinya tidak terlalu besar bu, Lebih besar abangnya Dulu yg 3,25. Bayi yang sekarang diperkirakan dibawah 3kg. InsyaAllah masih bisa diusahakan untuk lahir normal"
Saya bisa bernafas lega, sampai akhirnya sang dokter menanyakn "ibu ketubannya pecah, ya? Ini sedikit sekali indeks ketubannya. Ibu merasa basah-basah gitu ga?" Semua pertanyaan dokter saya jawab dengan satu kalimat, "saya engga rasain apa-apa, dok."
"Wah bu, ketuban sedikit gini bahaya Bu." ujar dokter masih serius mengamati layar USG. "kayanya bayinya kelilit tali pusar ya?" kali ini ucapannya ditujukan pada rekannya "tapi kalau di USG gini ga begitu jelas benar atau tidaknya kelilit tali pusar. Bisa jadi tali pusarnya kebetulan berada di sekitar badannya. Eh, ini juga ada kista bu, cukup besar dan sebaiknya diangkat"
Apa yang saya kuatirkan beberapa bulan terakhir sepertinya akan menjadi nyata. Walau sang dokter menyerahkan segala keputusan kepada saya dan Adnan, namun beliau menjelaskan dengan indeks ketuban dibawah tiga sementara sampai detik itu saya belum mulai merasakan kontraksi apapun, risikonya akan besar. Dan lagi kista tersebut memang juga harus diangkat.
Setelah membulatkan tekad mengambil keputusan Oprasi, saya mulai mengabari ortu dan Kakak-kakak. Nyokap yang saat itu sedang berada di medan dengan mengantongi tiket pulang esok hari, langsung memutuskan pulang hari itu pula. "Waduh, Ma, gak apa-apa. Adek juga pas dioprasi ga bisa ditemenin mama ko. Kata dokter juga oprasinya besok pagi, Ma. Lagian sayang itu tiket pulang besoknya jadi hangus," ya, logika ekonomis saya gak terima dengan keputusan tersebut. Tapi apa mau dikata, si nyokap milih rugi beli tiket baru dibanding kehilangan kesempetan melihat cucu kesebelas beliau grand launching :D
Siang itu saya mulai masuk kamar rawat inap. Selagi Adnan sibuk mengurus administrasi, ismail bermain-main dengan saya di kamar.
"Kita ngapain sih di sini mami?"
"Nungguin adik bayi keluar, Bang. Abang seneng ga?"
Ismail mengangguk semangat kemudian mencomoti hidangan makan siang saya :p.
Beberapa waktu Kemudian Adnan datang sambil meminta list barang apa saja yang harus dibawa olehnya di rumah nanti. Saat meninggalkan rumah, kami tidak menyangka kedatangan untuk kontrol kali ini berakhir dengan putusan rawat inap di hari yang sama. Maka Selain pakaian yang melekat, saya tak membawa pakaian lainnya.
Setelah mengantongi secarik kertas berisi list kebutuhan dari saya, Adnan pulang kembali dengan Ismail. Awalnya cukup sulit untuk membujuk Ismail untuk ikut dengan Adnan. Selain di rumah kesempatan untuk nonton sangat dibatasi dibanding di RS, Ismail ingin tetap tinggal karena sangat penasaran dengan prosesi kehadiran adiknya :D Syukurnya setelah dibujuk dan diberi pengertian bahwa adiknya tidak akan muncul secara tiba-tiba dan bim salabim, akhirnya Ismail luluh.
Seperginya mereka berdua, saya mulai menggalau sambil menatap kosong tayangan kartun yang tadi Ismail tonton. Entah kenapa siang itu terasa jauh lebih panjang dibanding siang-siang saat puasa :p Segala rasa bercampur jadi satu. Dari perasaan senang ingin bertemu anggota keluarga kami termuda hingga ketakutan setengah mati menghadapi oprasi, timbul tenggelam bergantian. Pengalaman kakak-kakak saya yang kesemuanya dioprasi memberi kesan yang sangat menakutkan bagi saya.
Sambil berusaha menenangkan diri, saya jadi teringat dengan segala persiapan fisik yang telah saya lakukan selama ini demi kelancaran dalam menghadapi persalinan normal. Semua seakan sia-sia tak terpakai. "Ah, tapi tidak ada yang sia-sia pada hal postif yang telah dilakukan. Semua pasti ada manfaatnya," batin saya yakin sambil berusaha memejamkan mata.
Dalam hitungan beberapa jam kedepan mungkin saya akan sulit menemukan waktu untuk bisa seperti ini hingga beberapa tahun kedepan. Ya, kapan lagi bisa leyeh-leyeh, menyantap makanan lezat bergizi tanpa harus repot belanja dan diolah sebelumnya serta tidak diiringi rengekaan seorang (atau lebih) bocah yang menginginkan perhatian? Kapan lagi bisa tidak memikirkan ritual beberes dan bersih-bersih seperti sekarang. Hmm ini heaven, saya mencoba meyakini diri.
Tempat saya bermalam. 'heaven'? :)
Terjemah dong ke bahasa gue
BalasHapusoggaah :p
Hapus