Takut dan Harap
Kalau diingat sekarang, sebelum berkeluarga, rasanya hidup saya begitu sederhana. Satu-satunya kehawatiran (besar) saya saat itu, ditinggal mati orang tua. Saya paham kematian adalah sebuah kepastian, namun kesiapan mental (untuk ditinggal keduanya) itu yang belum saya miliki.
Saat saya mulai berbenah untuk mempersiapkan mental menghadapi apa yang saya khawatirkan tersebut, Allah swt menakdirkan saya untuk mulai membina rumah tangga. Dan sejak detik itu, segala hal yang saya khwatirkan sebelumnya menjadi lebih kecil dengan apa yang saya khawatirkan kini.
Kini, setiap kali melepas kepergian suami dalam ikhtiarnya menjemput rejeki, saya khawatir dia akan tertimpa hal-hal buruk. Bagaiman jika usianya tidak lebih panjang dari saya? Bagaimana jika Allah suatu saat membalikkan hatinya, berubah menjadi sosok yang berbeda dari dirinya yang saat ini?
Saat mengandung, saya khawatir jika anak dalam kandungan saya tidak sehat sempurna. Pun ketika bayi saya sudah terlahir sehat, saya masih mengkhawatirkan banyak hal lainnya. Apakah dia diberi usia yang panjang? Bagaimana nasibnya nanti? Akankah dia menjadi korban bully teman-teman sebayanya kelak? Apakah jodohnya nanti orang yang berahlak mulia dan membahagiakannya? Akankah dunia tempatnya berpijak masih 'seaman' saat ini? Sekiranya usia kami tak panjang, siapa yang akan melimpahkan perhatain padanya? Dan ribuan list kekawatiran lainnya yang menghantui diri ini.
Akhirnya, sering kali saya merasa terteror dengan segala kehawatiran saya tersebut. Segala hal bisa menstimulus teror-teror tersebut muncul. Misalnya, setiap kali mendengar berita kematian anak, saya akan lama terlarut dalam kesedihan. Membayangkan bagaimana menjadi orangtua sang anak; Bagaiman sedihnya saat melihat benda-benda peninggalan sang anak; Mencium wangi sabun yang biasa digunakan sang anak; Ritual sehari-hari yang biasa dilakukan bersama; Senyuman, rengekan, ocehan, dan hal-hal kecil lainnya yang tiba-tiba harus hilang dari kehidupan.
Saat mendengar konflik di beberapa negara nun jauh di sana, hati ini langsung ciut. Membayangkan, apa yang bisa saya lakukan untuk keluarga saya jika saya harus berhadapan dengan kondisi tersebut? Bagaimana jika saya harus menyaksikan kematian orang-orang yang saya cintai dibantai di depan mata? Bagaimana sekiranya perang dunia ketiga terjadi? Saat itu tentu tak ada satu inchi tanah pun yang bisa dikatakan aman di muka bumi. Bagaimana nasib anak-anak saya? Ketakutan yang sama, saya rasakan, saat mendengar segala macam jenis bencana alam. Maka tayangan maupun diskusi bertema doomsday, dajjal, perang, dan semacamnya menjadi momok bagi saya.
Dan dari sekian banyak ketakutan, yang paling menghantui hari-hari saya adalah ketakutan akan kematian. Sakitnya menghadapi sakratul maut dan kehidupan di alam kubur sering membuat saya merana sendiri. Belum lagi membayangkan saat segala amalan yang akan dihisab kelak. Lantas langsung teringat akan ibadah-ibadah yang saya lakukan terasa jauh dari sempurna. Jangankan yang sunnah, bahkan yang wajibpun belum cukup berharga untuk dipersembahkan pada sang Khalik. Belum lagi segala maksiat dan khilaf yang saya lakukan semasa hidup.
Biasanya rasa takut itu muncul ketika malam mulai larut. Begitu pula malam ini. Saat saya mengantar kedua balita saya untuk tidur, tangis saya pecah tanpa bisa tertahan. Si sulung Ismail yang belum sempat terlelap khawatir menyaksikan saya menangis meraung.
"Kenapa Mami? Jangan nangis..." tanyanya dengan wajah khawatir.
Setelah cukup lama menennangkan diri, otak saya cepat mencari alasan yang bisa diterima Ismail.
"Mami takut sama Allah Bang"
"Kenapa?" tanyanya lagi.
"Mami suka terlambat sholat. Mami belum jadi orang baik"
Ismail terdiam, tangan kecilnya mencari tangan saya untuk kemudian dia genggam. Terkadang saya merasa dibalik 'keusilan' khas bocah yang belum genap berusia lima tahun ini, Ismail jauh lebih dewasa dari yang sebenarnya.
"Jangan takut Mami, Allah itu Baik. Allah gak jahat. Allah tahu semuanya, Mami kan shalat banyak. baca quran banyak. Mami baik. Allah (akan) kasih hadiah buat mami," ucapnya lembut meyakinkan saya sambil terus menggenggam tangan ini.
Saya tersentak. Itu ajaran saya dan Babonya selama ini pada Ismail untuk memotivasinya menjadi anak baik. Kami selalu menamkan bahwa Allah maha Tahu, Maha Baik dan Maha Penyayang. Allah selalu memberi hadiah pada anak-anak yang baik dan rajin shalat. Hanya saja Ismail tidak tau (karena belum kami tanamkan) betapa hisab-Nya begitu cepat bagi orang-orang yang lalai. Bocah kecil ini juga belum paham ibadah saya yang nenurutnya "banyak" tadi, tidak seberapa sama sekali.
"Iya ya, Bang. Allah kan Baik" ucap saya sambil berusaha tersenyum. Ismail ikut tersenyum. Sambil terus menggenggam tangan saya dia tertidur dengan wajah terus senyum. Menyaksikan pemandangan ini membuat saya lebih tenang.
Memang dalam hidup kita seharusnya tak lepas dari rasa khawatir (takut). Agar kelalaian dalam menghadapi kehidupan yang fana ini tidak mendominasi. Namun, terus-terusan terjebak dalam rasa khawatir yang sering saya rasakan seperti ini hanya membuat motivasi hidup raib dan yang pasti hal ini benar-benar menyiksa diri sekaligus anak-anak saya. Bukankah seharusnya saya mengingat apa yang kami ajarkan selama ini pada ismail "Allah itu Baik...Allah Maha Penyayang".
Setiap kali teror itu kembali mengusik, sepertinya itu signal terbaik bagi diri untuk segera berlari pada-Nya. Mengemis sambil menceritakan beban dan was-was yang ada, pada-Nya. Bukankah was-was itu datangnya hanya dari mahluk, sementara ketenangan datang hanya dari-Nya? Astagfirlullah hal adziim.
Ya Rabb, hanya PadaMu Harapan ini kami gantungkan.
Ar Rahman...Ar Rahiim
====
Jkt, 3 Mei 2014
Setelah duo klovo junior terlelap dalam,
sementara klovo senior berada ribuan mil dari sini
Saat saya mulai berbenah untuk mempersiapkan mental menghadapi apa yang saya khawatirkan tersebut, Allah swt menakdirkan saya untuk mulai membina rumah tangga. Dan sejak detik itu, segala hal yang saya khwatirkan sebelumnya menjadi lebih kecil dengan apa yang saya khawatirkan kini.
Kini, setiap kali melepas kepergian suami dalam ikhtiarnya menjemput rejeki, saya khawatir dia akan tertimpa hal-hal buruk. Bagaiman jika usianya tidak lebih panjang dari saya? Bagaimana jika Allah suatu saat membalikkan hatinya, berubah menjadi sosok yang berbeda dari dirinya yang saat ini?
Saat mengandung, saya khawatir jika anak dalam kandungan saya tidak sehat sempurna. Pun ketika bayi saya sudah terlahir sehat, saya masih mengkhawatirkan banyak hal lainnya. Apakah dia diberi usia yang panjang? Bagaimana nasibnya nanti? Akankah dia menjadi korban bully teman-teman sebayanya kelak? Apakah jodohnya nanti orang yang berahlak mulia dan membahagiakannya? Akankah dunia tempatnya berpijak masih 'seaman' saat ini? Sekiranya usia kami tak panjang, siapa yang akan melimpahkan perhatain padanya? Dan ribuan list kekawatiran lainnya yang menghantui diri ini.
Akhirnya, sering kali saya merasa terteror dengan segala kehawatiran saya tersebut. Segala hal bisa menstimulus teror-teror tersebut muncul. Misalnya, setiap kali mendengar berita kematian anak, saya akan lama terlarut dalam kesedihan. Membayangkan bagaimana menjadi orangtua sang anak; Bagaiman sedihnya saat melihat benda-benda peninggalan sang anak; Mencium wangi sabun yang biasa digunakan sang anak; Ritual sehari-hari yang biasa dilakukan bersama; Senyuman, rengekan, ocehan, dan hal-hal kecil lainnya yang tiba-tiba harus hilang dari kehidupan.
Saat mendengar konflik di beberapa negara nun jauh di sana, hati ini langsung ciut. Membayangkan, apa yang bisa saya lakukan untuk keluarga saya jika saya harus berhadapan dengan kondisi tersebut? Bagaimana jika saya harus menyaksikan kematian orang-orang yang saya cintai dibantai di depan mata? Bagaimana sekiranya perang dunia ketiga terjadi? Saat itu tentu tak ada satu inchi tanah pun yang bisa dikatakan aman di muka bumi. Bagaimana nasib anak-anak saya? Ketakutan yang sama, saya rasakan, saat mendengar segala macam jenis bencana alam. Maka tayangan maupun diskusi bertema doomsday, dajjal, perang, dan semacamnya menjadi momok bagi saya.
Dan dari sekian banyak ketakutan, yang paling menghantui hari-hari saya adalah ketakutan akan kematian. Sakitnya menghadapi sakratul maut dan kehidupan di alam kubur sering membuat saya merana sendiri. Belum lagi membayangkan saat segala amalan yang akan dihisab kelak. Lantas langsung teringat akan ibadah-ibadah yang saya lakukan terasa jauh dari sempurna. Jangankan yang sunnah, bahkan yang wajibpun belum cukup berharga untuk dipersembahkan pada sang Khalik. Belum lagi segala maksiat dan khilaf yang saya lakukan semasa hidup.
Biasanya rasa takut itu muncul ketika malam mulai larut. Begitu pula malam ini. Saat saya mengantar kedua balita saya untuk tidur, tangis saya pecah tanpa bisa tertahan. Si sulung Ismail yang belum sempat terlelap khawatir menyaksikan saya menangis meraung.
"Kenapa Mami? Jangan nangis..." tanyanya dengan wajah khawatir.
Setelah cukup lama menennangkan diri, otak saya cepat mencari alasan yang bisa diterima Ismail.
"Mami takut sama Allah Bang"
"Kenapa?" tanyanya lagi.
"Mami suka terlambat sholat. Mami belum jadi orang baik"
Ismail terdiam, tangan kecilnya mencari tangan saya untuk kemudian dia genggam. Terkadang saya merasa dibalik 'keusilan' khas bocah yang belum genap berusia lima tahun ini, Ismail jauh lebih dewasa dari yang sebenarnya.
"Jangan takut Mami, Allah itu Baik. Allah gak jahat. Allah tahu semuanya, Mami kan shalat banyak. baca quran banyak. Mami baik. Allah (akan) kasih hadiah buat mami," ucapnya lembut meyakinkan saya sambil terus menggenggam tangan ini.
Saya tersentak. Itu ajaran saya dan Babonya selama ini pada Ismail untuk memotivasinya menjadi anak baik. Kami selalu menamkan bahwa Allah maha Tahu, Maha Baik dan Maha Penyayang. Allah selalu memberi hadiah pada anak-anak yang baik dan rajin shalat. Hanya saja Ismail tidak tau (karena belum kami tanamkan) betapa hisab-Nya begitu cepat bagi orang-orang yang lalai. Bocah kecil ini juga belum paham ibadah saya yang nenurutnya "banyak" tadi, tidak seberapa sama sekali.
"Iya ya, Bang. Allah kan Baik" ucap saya sambil berusaha tersenyum. Ismail ikut tersenyum. Sambil terus menggenggam tangan saya dia tertidur dengan wajah terus senyum. Menyaksikan pemandangan ini membuat saya lebih tenang.
Memang dalam hidup kita seharusnya tak lepas dari rasa khawatir (takut). Agar kelalaian dalam menghadapi kehidupan yang fana ini tidak mendominasi. Namun, terus-terusan terjebak dalam rasa khawatir yang sering saya rasakan seperti ini hanya membuat motivasi hidup raib dan yang pasti hal ini benar-benar menyiksa diri sekaligus anak-anak saya. Bukankah seharusnya saya mengingat apa yang kami ajarkan selama ini pada ismail "Allah itu Baik...Allah Maha Penyayang".
Setiap kali teror itu kembali mengusik, sepertinya itu signal terbaik bagi diri untuk segera berlari pada-Nya. Mengemis sambil menceritakan beban dan was-was yang ada, pada-Nya. Bukankah was-was itu datangnya hanya dari mahluk, sementara ketenangan datang hanya dari-Nya? Astagfirlullah hal adziim.
Ya Rabb, hanya PadaMu Harapan ini kami gantungkan.
Ar Rahman...Ar Rahiim
====
Jkt, 3 Mei 2014
Setelah duo klovo junior terlelap dalam,
sementara klovo senior berada ribuan mil dari sini
Komentar
Posting Komentar