Pelajaran dari Sebuah Fase Kehidupan

Dipostingkan pada Note FB tepat milad saya yang ke 26 tahun (8 Agustus 2009)

===============

Benar kata banyak orang, rasa sakit itu seakan sirna setelah melihat sosok mungil dihadapanku yang baru saja bertarung untuk keluar dari rahim ini. Setelah melalui proses persalinan pertama, aku semakin menghargai peran orang tua terhadap hidup ini, terutama ibu. Di sisi lain akupun semakin menyadari bahwa anak adalah amanah besar yang tidak boleh disia-siakan oleh setiap orang tua. Ismail—putra kami—bukanlah milik kami, dia hanyalah titipan dariNya yang kelak akan diminta pertanggungjawaban-Nya.

***************************
Proses persalinan dari kelahiran putra pertama kami bisa dibilang singkat. Tanggal 1 juli 2009, pukul 09.00 kami tiba di RS, dan pukul 11.30 hari yang sama buah hati kami lahir. Namun rasa mulas yang berkepanjangan sudah mulai kurasakan sejak tanggal 30 juni, dan rasa itu semakin menjadi mulai sore hari. Sepanjang malam aku meringkuk di ranjang dan beristigfar menahan sakit akibat kontraksi. Di sela rasa mulas, kusempatkan mengirim sms pada orang tua di Jakarta untuk memohon maaf (konon kabarnya sms tersebut membuat mama sedih, karena beliau tidak tahu kenapa tiba-tiba aku memohon maaf). Saat itu masih 2 minggu sebelum hari prediksi lahir, maka aku dan suami tidak begitu yakin kalau mulas yang kurasakan itu benar-benar pertanda akan lahirnya si jabang bayi, maka sebab itu kami memilih tidak memberitahu siapapun akan apa yang kurasakan saat itu.

Dengan rekomendasi dari dokter kandunganku via telpon, akhirnya kami putuskan untuk berangkat ke RS pagi itu. Sebelum berangkat aku masih sempat sarapan, mandi, mempersiapkan pakaian dll. Alhamdulillah tidak timbul kepanikan, yang ada justru binar harap dan bahagia dari keluarga besar suami yang tinggal tidak jauh dari kediaman kami. Pagi itu mereka melepas kepergianku dengan beribu suport yang tidak seutuhnya kupahami:)

Sepanjang perjalanan ke RS, berkali-kali aku memohon maaf dan restu dari suami. Selain itu aku juga menyampaikan beberapa wasiat padanya (berupa nazar ataupun hutang yang belum terbayarkan). Saat kusampaikan wasiat tersebut, awalnya, suami berfikir aku terlalu mengada-ada…”kamu ini mau melahirkan, bukan mau perang…” begitu kira-kira katanya saat itu. Aku tahu, sudah berjuta wanita yang melahirkan dengan selamat., tapi bukan berarti tidak ada yang selamat jugakan? Aku hanya tidak mau, jika hidupku memang harus berakhir dalam proses persalinan pertama ini, maka janji syahid itu akan termentahkan karena aku masih memiliki hutang di dunia. Mendengar alasan itu suamiku akhirnya menerimanya.

Setibanya di RS, dokter langsung memeriksaku dan berkata “kira-kira 3jam lagi bayinya lahir, sudah pembukaan 5”. Aku langsung diminta ganti pakaian dan masuk ruang bersalin dan mengikuti beberapa prosedur persalinan. Dengan didampingi suami, lagi-lagi aku harus menghadapi rasa mulas yang kian hebat dalam ruang tersebut. Suamiku sibuk menghibur dan membesarkan hatiku. Yup…memang cukup menghibur, namun tetap saja tidak bisa menghilangkan rasa sakitku. Hingga akhirnya sejam kemudian rasa itu semakin tak tertahankan, dan tim medispun bergerak sigap membantu.

Sang dokter memberi aba-aba yang selalu diterjemahkan suami. Bumi rasanya berputar 1000x lebih cepat, dan aku tidak peduli dengan keadaan sekitar, saat itu dalam benak ini hanya ada satu nama, Allah. Hanya Dia yang mampu menolongku keluar dari derita tersebut, bukan sang dokter yang telah berpengalaman bertahun-tahun dalam membantu proses persalinan, bukan pula suamiku yang selalu dengan sabar dan setia menguatkan, dan juga bukan para tim medis yang selalu siaga…hanya Allah. Ya, hanya Allah!

Walau rasa sakit yang kurasakan sudah di ubun-ubun dan tak terperikan, namun entah kenapa tiba-tiba saja ada setitik keyakinan bahwa kematian tidak akan datang saat itu padaku. Teringat hadist riwayat Tirmidzi yang pernah kubaca bahwa sakitnya kematian sangatlah dahsyat seperti tusukan tiga ratus pedang. Dan jujur saja, sakit yang kuderita belum sehebat itu. Dan seketika itu pula aku membayangkan bagaimana sakitnya kematian. Jika sakit yang kuderita saat itu hanya dialami oleh jutaan wanita, maka sakitnya kematian merupakan keniscayaan yang akan dirasa tiap umat manusia. Tiada yang mampu lari darinya, karena tiap-tiap yang bernyawa pasti akan merasakan kematian (QS. Ali Imran: 180).

Akhirnya tidak hanya kematian yang terlintas di benakku saat itu, tapi juga kehidupan setelah kematian. Dalam nafas yang tersenggal, terbayang kesendirian yang akan kulalui di alam kubur kelak, tidak ada yang bisa kubawa, tidak harta, tidak pula orang-orang yang kucintai dan mencintaiku di dunia. Hanya ilmu yang bermanfaat, doa anak sholih, dan amal jariyah semasa hidupku yang mampu menemani kesendirianku nanti. Kemudian terbayang pula, saat hari berbangkit kelak…aku takkan bisa menggengam tangan orang yang kukasihi seperti saat ini, tidak tangan sahabatku, tidak tangan anakku, tidak tangan suamiku, tidak pula tangan orangtuaku…karena saat itu mereka semua sibuk dengan diri mereka masing-masing—begitu pula aku. Dan terakhir terbayang kehidupan macam apa yang akan kuraih kelak…derita berat di neraka kah, atau kebahagian yang tak berujung di jannah-Nya…

Tanpa bisa kucegah mataku mulai basah membayangkan itu semua, rasa sakit dan mulas bercampur aduk dengan rasa takut akibat bayang-bayang tadi. Dalam keadaan lemah, lirih kuberdoa, “Allahu Rabbi, izinkan aku bertahan hidup untuk saat ini..izinkan aku sempat membesarkan anakku menjadi tabungan akhiratku dan beramal sholih lebih banyak lagi…”. Saat itu kulihat samar suamiku menatapku khawatir…dan beberapa detik kemudian dia mengecup keningku dan berkata, “bayi kita sudah lahir….”

Alhamdulillah persalinan berjalan lancar, keesokannya aku sudah kembali ke rumah dengan sang bayi dalam buaian. Banyak yang bilang, aku termasuk yang dimudahkan dalam proses persalinan, namun dari proses singkat tersebut aku banyak mendapat pelajaran yang tak ternilai. Pelajaran tentang amanah besar sebagi orang tua yang menyadarkanku bahwa Ismail bukan hak milikku—maka tak layak dizalimi baik fisik maupun psikisnya. Belajar untuk lebih berbakti pada kedua orang tua yang telah banyak berkorban melahirkan dan membesarkan diri ini. Belajar semakin menghargai kehidupan yang kumiliki, karena kini aku tahu proses untuk hadir dalam dunia ini tidaklah mudah. Hingga muasabah yang berkepanjangan akan fase hidup yang suatu saat akan kulalui, yaitu kematian dan kehidupan setelahnya.

“Allahu Rabbi…jadikan setiap fase kehidupan ini berkah.
Jadikan setiap peran yang kumiliki bermanfaat.
Jadikan hidup, mati, dan kehidupanku selanjutnya kelak mulia.
Allah, hanya kepada-Mu aku meminta”.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

welcome world, Belkisa #2

Halalin Adek Bang

Relatif itu...