Surat terbuka untuk (para) Mama

Dipostingkan di FB, 23 Okt 2009

===

Bumi Allah, 23 Oktober 2009.
Kepada Mama, 
di tanah kelahiranku.


Assalamualaykum warahmatullahi wabarakatuh.
Apa kabar Ma? Alhamdulillah, atas doa Mama kami di sini dalam keadaan sehat dan tak kekurangan satu apapun. Aku menulis surat ini setelah mengantar tidur si-kecil ke peraduannya yang hangat. Seminggu lagi cucumu tersebut, tepat berusia 4 bulan. Sejauh ini alhamdulillah perkembangannya sangat baik. Maha Suci Allah yang menciptakan manusia dengan luar biasanya, bayi mungil yang 3 bulan lalu masih sangat ringkih dan tak mampu berbuat apapun, kini mulai bisa menyampaikan keinginannya dengan bahasa tubuh yang sederhana namun mudah dimengerti. 

Seminggu terakhir ini, dia tak lepas dalam dekapan orang-orang dewasa di sekitarnya jika terjaga, dan 90%nya berada di tanganku. Setiap kali kami biarkan dirinya seorang diri di atas ranjang atau sofa, tak lebih seperempat jam, dia akan mulai mengeluarkan jurus andalannya, 'menangis'. Ketika kami menghampirinya, dia akan mengangkat pinggulnya tinggi-tinggi atau berusaha keras mengangkat kepalanya, seakan ingin beranjak dari tempatnya. 

Jika menangis, suara tangisannya kali ini berbeda dengan sebelum-sebelumnya. Mendengar tangisannya kali ini benar-benar menyayat hati, terutama bagiku, ibunya. Tak jarang tangisnya disertai linangan air mata yang menganak sungai, padahal aku tak lebih 3 menit meninggalkannya. Setelah digendong, dia diam seperti sebelumnya tak terjadi apa-apa.

Teman atau kerabat, yang lebih dahulu memiliki anak, menyesali sikapku. Mereka bilang, bayiku mulai 'mengendalikanku' karena aku 'memanjakannya'. Sebagai orang yang lebih dulu memiliki bayi, memang banyak orang yang merasa diri lebih pandai dalam mengurus bayi. Aku pun tak pernah memungkirinya, jika sampai detik ini bayi mereka bisa tumbuh dengan baik, tentu mereka ibu yang baik bagi anak-anak mereka. 

Namun Ma, sejak awal aku memiliki rencana sendiri tentang metode pengasuhan yang akan kugunakan. Metode Mengasuh Anak dengan Penuh Kasih*, itu yang akan kuterapkan pada putra-putriku InsyaAllah. Metode ini mulai berkembang di Amerika saat ini. Ya, setelah beberapa generasi masyarakat mereka hilang kehangatan dalam keluarga, bahkan generasi-generasi muda mereka tumbuh dalam 'kerusakan', kini mereka berbondng-bondong berusaha kembali ke metode kuno yang digunakan para nenek moyang kita dulu. Metode sederhana yang sempat kita cibirkan dewasa ini, seperti segera menggendong dan mnenangkannya ktika sang bayi menangis, mengendong dan mebawa bayi kemanapun, tidur bersama bayi, memberi makanan terbaik (termasuk ASI tentunya), tidak pernah memaksakan anak namun tetap beridisplin, tak pernah menggunakan julukan-julukan 'negatif' pada anak (seperti si-rewel, si-cengeng, nakal, dan semacamnya), dan mengasuhnya dengan penuh cinta kasih.

Aku tak pernah tahu seperti apa bunda Khadijah membesarkan bayi-bayi beliau pada zaman itu, tapi satu yang pasti Rasulullah sang Ayah adalah laki-laki berperangai lembut dan hangat pada setiap anak. Dan sejauh metode yang kugunakan ini tidak berseberangan dengan nilai-nilai dien yang kita pegang teguh, maka aku akan tetap menjalaninya dengan suka cita.

Ma, tahukah kau? Sering kali, ketika aku menimang si-kecil hangat untuk mengantarkannya tidur atau menenangkannya dari tangisan, kerabat yang kebetulan melihat, menggeleng kepala iba melihatku. Mungkin mereka pikir aku lelah melakukan itu semua. Ya, memang terkadang aku lelah secara fisik, setelah repot seharian membersihkan dan membenahi rumah, memasak hidangan untuk menantumu, serta secara bersamaan merawat cucumu tercinta tanpa pertolongan seorang khadimat. Namun sungguh, rasa lelah itu terbayarkan dengan melihat ketenangan yang terpancar pada wajah polos putraku dalam dekapan ini.

Bahkan tak jarang ketika rasa lelah itu hadir, bayang-bayangmu menari dalam benakku. Bayang-bayang ketabahan dan kelelahanmu membesarkan kelima anakmu tanpa pernah mengeluh. Ketika kejenuhan mulai menghampiri, justru semakin erat kudekap tubuh si-kecil, karena aku tahu suatu saat kelak dia tidak akan mudah kudekap seperti saat ini. Entah hingga sampai usia berapa dia masih mau kudekap seperti sekarang. Atau mungkin suatu saat nanti dia akan meninggalkanku di masa tuaku, seperti aku yang meninggalkanmu jauh saat ini. 

Ma, sebelum aku menyudahi surat ini, izinkan aku untuk memohon maaf. Maafkan aku jika dahulu hingga detik ini aku bukan anak yang baik. Anak yang selalu menangis tanpa alasan yang jelas ketika bayi. Anak yang sulit makan saat balita. Anak yang sering membantah ucapanmu, bahkan tak jarang bersuara lebih tinggi dari suaramu sewaktu remaja. Anak yang jarang membantu pekerjaan rumah tangga sejak mengaku menjadi aktivis. Anak yang kini hanya mampu menelpon atau meng-sms-mu untuk melepas kerinduanmu, tanpa bisa hadir dihadapanmu. Anak yang telah memberikanmu seorang cucu yang lucu, namun belum bisa membawanya untuk menemuimu.

Maafkan aku Ma. Entah dengan cara apa aku bisa membalas semua itu.
Semoga Allah berkenan meng'ijabah do'a-do'a sederhana yang selalu kulantunkan untukmu dan papa. Karena hanya itu yang mampu kupersembahkan padamu. Sekian dulu suratku ini.

Wassalamualaykum warahmatullahi wabarakatuh
Peluk cium, 


Putrimu

*Metode William Sears (pakar pediatrik Amerika)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

welcome world, Belkisa #2

Halalin Adek Bang

Relatif itu...